Sabtu 11 Nov 2017 00:37 WIB

Nestapa Pengungsi Palestina yang tidak Diinginkan di Lebanon

Rep: Marniati/ Red: Agus Yulianto
Seorang warga Suriah melintas di sebuah mobil yang hancur usai pertempuran antara oposisi dan militer Suriah di kawasan kamp pengungsian Palestina di Yarmuk, Suriah.
Foto: guardian.co.uk
Pengungsi Palestina/ilustrasi

Teman Nabila, Farhat, menjelaskan, bagaimana pengungsi dikenai pajak selama mereka tinggal di kamp. Pengungsi harus membayar untuk pembaharuan visa setiap tiga bulan sekali. Ia mengatakan, para pengungsi harus membayar semua dokumen resmi, termasuk akte perkawinan dan akta kelahiran.

Farhat mengatakan, suatu kali, ia pergi ke kota, satu jam perjalanan bus melintasi Lebanon untuk memperbarui status pengungsinya. Ketika tiba di kamp, ia diberi tahu bahwa nomor pengungsinya tidak terdaftar pada sistem dan ia tidak diijinkan masuk kembali.

"Saya diperintahkan untuk menunggu di samping seperti penjahat. Setelah berjam-jam, tentara lain memeriksa ulang nomor pengungsi saya dan menemukannya di sistem. Ternyata prajurit pertama itu belum diperiksa dengan baik. kenapa kita diperlakukan seperti penjahat? Apa kejahatan kita? Telah dipaksa keluar dari kehidupan dan rumah kita yang damai," katanya.

Satu-satunya jalan masuk ke Rashidieh memang dijaga ketat oleh tentara bersenjata yang memeriksa setiap kendaraan yang masuk. Jika tidak menampilkan kartu identitas Palestina atau jika ada masalah dengan nomor pengungsi, maka akses untuk masuk ke kamp akan ditolak.

Pada pertengahan Oktober, Presiden Libanon Michel Aoun mendesak pengungsi dari Suriah untuk kembali ke negaranya. "Tidak akan pernah aman di sana. Dan selain itu, kami tidak menginginkan Suriah. Kami juga tidak menginginkan Libanon. Kami menginginkan Palestina. Kami ingin kembali ke rumah kami, ke Palestina," kata seorang pengungsi.

Noukha Taha yang berusia 98 tahun, pindah ke Rashidieh pada usia 14 setelah melarikan diri dari Baalbek. Ia mengatakan, meskipun tinggal di Lebanon hampir sepanjang hidupnya tapi dia memiliki sedikit hak untuk memperoleh standar hidup yang layak.

"Ini bukan kehidupan. Kami tidak memiliki hak untuk membangun rumah yang layak atau bahkan membarui rumah kami. Kami tidak punya pekerjaan dan tidak punya hak untuk bekerja di luar kamp. Kami hanya diberi obat-obatan dasar, seperti obat penghilang rasa sakit, oleh UNRWA untuk orang tua seperti saya yang membutuhkan lebih banyak obat daripada ini, tidak cukup untuk membebaskan kita dari penyakit kita. Kita tidak diberi pilihan selain membeli dari apotek di luar kamp, yang terlalu mahal untuk kita bayar sendiri," katanya.

Terlepas dari semua konflik antara para pengungsi, pengungsi Palestina ingin dapat kembali ke Palestina, tanah air mereka. "Kami menginginkan Palestina. Tanah nenek moyang kita dan kakek kita. Tanah Suci Inilah kembalinya yang kita impikan, dan selama kita hidup kita tidak akan pernah melupakan tanah kita, rumah kita," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement