Ahad 24 Dec 2017 11:40 WIB

Mimpi Buruk Muslim Rohingya, Mereka Ditembaki Militer Myanmar

Rep: Antara/ Red: Budi Raharjo
Ribuan pengungsi muslim Rohingya bertahan di perbatasan, setelah tentara Bangladesh melarang mereka bergerak menuju kamp pengungsian di Palong Khali, Bangladesh, Selasa (17/10).
Foto:
Pengungsi Rohingya di Bangladesh.

Fajar menjelang. Mokhtar Ahmad yang belum lama kembali dari perantauannya di Malaysia untuk melepas rindu dengan orang tuanya tidak pernah menyangka bahwa itu adalah pagi terburuk dalam hidupnya. Tentara Myanmar menyerang rumah-rumah di desanya.

Suara tembakan meneror dari luar. "Mereka membakar rumah. Kalau kami di dalam rumah, habis terbakar. Kalau keluar rumah, kami ditembak," ungkap Mokhtar.

Mokhtar dan kedua orang tuanya berusaha menyelamatkan diri. Namun, baru selangkah keluar dari rumah, Mokhtar langsung dilumpuhkan peluru tentara Myanmar, mengenai bawah pundaknya dari sisi sebelah kiri. "Saat itu gelap, saya tidak tahu yang menembak dari arah mana," kata Mokhtar.

Ia langsung terjatuh. Ibunya histeris melihatnya tertembak. Suasana semakin mencekam. Dalam keadaan terluka dan berdarah, Mokhtar dipapah ayahnya berlari ke arah hutan menuju perbatasan.

"Tangan saya diikat pakai kain yang dikalungkan ke leher. Ibu saya terus menangis. Saya sendiri merasa shock," kata Mokhtar yang bekerja di Malaysia sejak tahun 2011 sebagai pekerja besi itu.

Mokhtar bersama ibu dan ayahnya memakan apa saja yang ada di hutan. Ia tidak lagi memikirkan kesakitan akibat luka tembak, yang penting baginya bisa menyelamatkan diri.

Dalam pelarian diri ke Bangladesh, Mokhtar melihat banyak orang yang tewas di jalan. "Mereka kena tembakan dan sudah tidak kuat. Banyak yang meninggal di hutan. Suasananya sangat menyedihkan," ungkap pria berusia 30 tahun itu.

Hari berganti hari begitu terasa lama bagi Mokhtar. Perjuangan selama 15 hari menembus hutan, menyusuri sungai, naik turun bukit, terbayar sudah saat Mokhtar dan orang tuanya berhasil melewati perbatasan.

"Ini memang begitu buruk," ujar Mokhtar yang lancar berbahasa Melayu. Di antara pengungsi lainnya, ia cukup mencolok karena memakai pakaian rapi dan jam tangan yang melingkari di tangan kirinya.

Mokhtar bisa saja tidak harus mengalami kejadian pahit seperti saat ini jika ia masih tetap di Malaysia. "Tetapi saya tidak menyesal kembali ke Myanmar karena bisa tetap berkumpul dengan orang tua saya".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement