Rabu 27 Dec 2017 11:16 WIB

Kremlin: Penantang Putin Bisa Dipenjara Jika Boikot Pemilu

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Teguh Firmansyah
Alexei Navalny, blogger anti-Kremlin yang merupakan pemimpin oposisi Rusia
Foto: AP
Alexei Navalny, blogger anti-Kremlin yang merupakan pemimpin oposisi Rusia

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Juru Bicara Vladimir Putin, Dmitry Peskov mengomentari rencana boikot bakal calon

Presiden Rusia Alexei Navalny dalam pemilu presiden yang akan diadakan pada Maret tahun depan.

Peskov mengatakan, adanya kemungkinan dampak hukum bagi pemimpin oposisi Rusia itu menyusul ancaman boikot tersebut. "Seruan untuk memboikot harus dipelajari dengan seksama guna mengetahui apakah mereka melanggar hukum atau tidak," kata Dmitry Peskov, Rabu (27/12).

Seruan boikot disampaikan Alexei Navalny setelah badan pemilu tertinggi Rusia melarangnya mengikuti pemilihan presiden. Dia meminta para pendukung untuk menjauh dari pemungutan suara tersebut dan melakukan aksi demonstrasi.

Badan pemilu tertinggi Rusia menolak keikutsertaan Alexei Navalny dalam pemilihan Presiden lantaran tersandung kasus korupsi. Navalny sempat diperiksa tim investigasi pemerintah pada 2009 lalu.

Setelah menjalani masa tahanan, Navalny kembali menghadapi dua tuduhan penipuan yang berbeda. Meski demikian, tuduhan yang dijatuhkan saat itu dinilai sebagai langkah untuk menjegal langkah Navalny guna menjadi wali kota Moskow pada 2013 lalu yang sempat mendulang 30 persen suara pemilih.

Absennya Alexei Navalny dalam pemilu Presiden Rusia membuat Vladimir Putin hingga saat ini menjadi calon tunggal. Peskov mengatakan, ketidakhadiran Navalny dalam ajang tersebut tidak akan mengurangi legitimasi kemungkinan Putin kembali menjabat sebagai presiden.

Sementara dalam sebuah pernyataan, Uni Eropa (UE) menilai ketidakhadiran Navalny dalam pemungutan suara kepala negara menimbulkan keraguan serius akan pluralisme politik di Rusia dan prospek pemilihan demokratis.

Juru bicara UE untuk urusan luar negeri, Maja Kocijancic merujuk pada sebuah keputusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) Eropa yang menyebut Navalny tidak mendapatkan peradilan seimbang saat mendapatkan vonis pada 2013 lalu. "Tuduhan politis tidak boleh digunakan sebagai motivasi untuk melawan partisipasi politik," kata Kocijancic.

Sebelumnya, partai penguasa Rusia membidik kemenangan mutlak bagi Vladimir Putin dalam pemilihan presiden Maret 2018 nanti. Partai siap mengusung dan menjadi kekuatan politik Putin dalam pemilu tersebut.

Putin sudah menggenggam kekuasaan di Rusia sejak 2000 lalu baik sebagai perdana menteri atau presiden. Jika berhasil kembali naik tahta, maka Putin berkesempatan untuk menjadi presiden selama enam tahun kedepan hingga 2024.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement