REPUBLIKA.CO.ID, NOGALES -- Sejumlah wanita dan anak-anak imigran dibiarkan kedinginan di dalam sel saat mereka ditahan oleh US Customs and Border Protection (CBP) di perbatasan AS-Meksiko. Menurut laporan Human Rights Watch (HRW), mereka juga mendapatkan perlakuan kasar dari petugas CBP.
Laporan yang berjudul In the Freezer: Abusive Conditions for Women and Children in US Immigration Holding Cells ini dirilis pada Rabu (28/2) oleh HRW. Laporan tersebut mendokumentasikan lebih dari 100 kasus imigran yang ditahan di luar batas waktu tiga hari yang direkomendasikan dalam pedoman CBP di sel induk perbatasan.
Seringkali para imigran hanya diberi selimut tipis dan memakai lembaran plastik tahan panas yang biasanya ditemukan di peralatan medis untuk mendapatkan kehangatan. Sel-sel yang mereka tempati tidak dilengkapi dengan ranjang, kasur atau perlengkapan tidur lainnya.
"Dingin, sangat dingin ... Tidak ada tikar. Kami hanya tidur di lantai," ujar seorang wanita asal Guatemala yang diidentifikasi bernama Carolina R, kepada HRW.
Petugas CBP juga sering memaksa wanita dan anak-anak imigran yang ditahan memakai satu lapis pakaian saja. "Mereka tidak ingin saya menyimpan blus dan sweter saya, saya harus memilih satu untuk dipakai, jadi saya memilih sweter. Mereka tidak menjelaskan mengapa," kata Adela R, yang menghabiskan tiga malam di dalam sel di Nogales, Arizona dengan bayinya.
Para imigran tersebut ditahan tanpa diberikan izin untuk mandi dan dalam beberapa kasus, mereka juga tidak diberikan pembalut. Laporan HRW itu telah memicu kekhawatiran dari aktivis hak asasi manusia imigran.
Carlos Diaz, juru bicara CBP mengatakan lembaga tersebut telah bertemu dengan HRW mengenai temuan dalam laporannya. "CBP mengoperasikan fasilitas penahanan jangka pendek, tempat individu umumnya ditahan selama 72 jam atau kurang," kata Diaz.
"CBP memperlakukan semua individu dengan penuh harga diri dan rasa hormat, dan memastikan semua fasilitas tersebut memenuhi semua persyaratan hukum dan kebijakan yang relevan. Selain itu, US Border Patrol and Office of Field Operations juga memastikan semua petugas akan memantau secara tepat kondisi tahanan di dalam kamar dan memasukkan informasi itu ke dalam sistem rekaman yang sesuai secara reguler," tambah dia.
Menurut Eddie Canalas, pendiri Pusat Hak Asasi Manusia Texas Selatan (STHRC), laporan tersebut menyoroti keadaan sulit mengenai kebijakan imigrasi di AS. Organisasinya selama ini bekerja untuk meminimalkan kematian migran di wilayah Texas di perbatasan AS-Meksiko.
"Kami menghadapi perlakuan polisi yang sangat keras bagi imigran di negeri ini. Tidak ada tempat untuk kemanusiaan. Tidak ada tempat untuk hak asasi manusia," kata Canalas kepada Aljazirah.
Canalas mengatakan, penahanan dalam kondisi yang keras, serta pemisahan orang tua dengan anak-anak mereka, dilakukan untuk mencegah imigran tak berdokumen untuk masuk ke persimpangan AS. Dia menambahkan, kondisi tersebut juga menanamkan rasa takut pada imigran.
STHRC, sama seperti kelompok hak asasi imigran lainnya di perbatasan, telah menyediakan stasiun air bagi para imigran yang mengalami dehidrasi di musim panas. Canalas mengatakan, di Brook County, Texas, tempat STHRC beroperasi, telah terjadi 13 kematian pada 2018.
Menurut Organisasi Migrasi Internasional (IOM), sebanyak 412 imigran dilaporkan telah meninggal pada 2017, naik dari 392 pada 2016. Sementara penangkapan imigran turun sebanyak 44 persen pada periode yang sama, dari 611.689 pada 2016 menjadi 341.084 pada 2017, menurut data Departemen Kehakiman AS.
Para wanita imigran tidak hanya menghadapi sel-sel tahanan yang dingin dan tidak ramah, tapi juga pelecehan seksual. Fakta ini disampaikan dalam sebuah surat yang ditulis oleh 45 perwakilan Kongres AS yang dikirim pada Selasa (27/2) ke Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, yang mengawasi penegakan imigrasi nasional.
Surat tersebut mengatakan, Departemen Keamanan Dalam Negeri harus menyelidiki tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan oleh para petugas di pusat penahanan imigrasi T Don Hutto di Texas kepada imigran Wanita. Salah satu imigran yang menjadi korban adalah Laura Monterrosa.
Monterrosa, seorang imigran tak berdokumen berusia 23 tahun dari El Salvador yang ditangkap Immigration and Customs Enforcement (ICE) pada Mei lalu, mengklaim dia telah diserang oleh seorang penjaga pada November. Sejak saat itu dia telah mencoba untuk bunuh diri dan ditempatkan di sel isolasi.