Selasa 06 Mar 2018 01:03 WIB

Rencana Myanmar Batasi Unjuk Rasa Ditentang

Myanmar mengancam penjara tiga tahun bagi unjuk rasa yang dinilai merugikan.

Red: Nur Aini
Bendera Myanmar
Foto: wikipedia
Bendera Myanmar

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Ratusan orang berunjuk rasa melalui kota terbesar Myanmar, Yangon, pada Senin (5/3) untuk menentang perubahan undang-undang unjuk rasa yang sedang dibahas parlemen. Pengunjuk rasa memperingatkan hal itu akan membatasi kebebasan berbicara.

Perubahan Undang-undang Pertemuan dan Prosesi Damai 2011 dapat membawa hukuman penjara tiga tahun bagi pendukungnya, secara finansial, bagi unjuk rasa yang merugikan "keamanan, penegakan hukum dan stabilitas negara, serta kepentingan moral rakyat". Perubahan tersebut juga mewajibkan penyelenggara unjuk rasa memberikan rincian anggaran dan sumber dana mereka untuk berunjuk rasa.

Peraih Nobel dan pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi mendukung perubahan tersebut. Dukungan itu diberikan di tengah peningkatan kekhawatiran bahwa pemerintahannya, yang berusia dua tahun, gagal melindungi hak asasi manusia.

"Jika mereka mempersulit unjuk rasa, pihak berwenang yang memerintah negara - parlemen, pengadilan dan pemerintah- tidak dapat mendengar pendapat sebenarnya dari rakyat," kata Zaw Yan, pegiat hak petani.

Yan adalah satu dari sekitar 500 petani, pekerja dan pegiat politik yang bergerak melalui bekas pusat ibu kota tersebut dalam sebuah unjuk rasa menentang amandemen. Hampir 190 kelompok masyarakat sipil Myanmar telah menandatangani sebuah petisi menentang amandemen tersebut.

Juru bicara NLD Nyan Win menolak berkomentar. Tapi setidaknya, satu anggota parlemen NLD berbicara menentang perubahan tersebut di ibu kota, Naypyitaw, tempat majelis tinggi parlemen mengadakan debat awal mengenai amandemen yang diajukan.

Kata-kata yang luas dari amandemen, terutama konsep moralitas yang tidak jelas, dapat digunakan oleh pihak berwenang untuk memblokir unjuk rasa yang sah, menurut Hla Hla Soe, seorang anggota NLD dari majelis tinggi. "Kebebasan berkumpul dan berekspresi adalah hak asasi manusia yang mendasar," katanya kepada majelis tersebut.

Tujuh orang tewas ditembak dan setidaknya 12 lainnya luka-luka dalam unjuk rasa di negara bagian Rakhine pada Januari. Amandemen tersebut, yang diusulkan oleh sebuah komite yang dipimpin NLD bulan lalu, tampak menyasar pemrotes nasionalis.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement