Selasa 03 Apr 2018 17:03 WIB

Pencari Suaka Khawatir Kesepakatan Israel dengan PBB

Kesepakatan antara Israel dan PBB menyasar 16.250 migran asal Afrika.

Rep: rizkyan adiyudha/ Red: Ani Nursalikah
Pemandangan Kota Tel Aviv di Israel.
Foto: EPA
Pemandangan Kota Tel Aviv di Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Para pencari suaka asal Afrika di Israel mengaku khawatir dengan kesepakatan pemerintah setempat dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mereka meragukan kebijakan tersebut akan membawa perubahan yang jelas bagi para pencari suaka tersebut.

Seperti diwartakan Aljazirah, Selasa (3/4) kesepakatan antara Israel dan PBB itu menyasar sekitar 16.250 migran asal Afrika untuk ditempatkan di negara-negara Eropa semisal Jerman atau Italia hingga Kanada. Kesepakatan itu akan diterapkan dalam tiga tahap selama lima tahun.

Meski demikian, Kedutaan Besar Jerman dan Italia di Israel mengaku tidak mendapatkan pemberitahuan terkait keputusan tersebut. Mereka mengatakan, belum mendapatkan permintaan resmi dari pemerintah setempat terkait penerimaan para pencari suaka di Israel.

Kesepakatan tersebut juga membuka peluang bagi para pencari suaka terutama wanita dan anak-anak yang tinggal di Israel mendapatkan visa terkait perlindungan. Hal itu membuat mereka berpotensi mendapatkan izin tinggal secara sah dari pemerintah Israel.

"Mereka bisa mengajukan suaka jika takut akan intimidasi di negara asal, namun hal itu harus dinilai terlebih dahulu," kata Juru Bicara UNHCR William Spindler.

Spindler mengatakan, sekitar 90 persen warga asal Eritrea sudah diakui sebagai pengungsi di Eropa. Menurut dia, jumlah hampir sama juga diketahui bagi warga negara asal Sudan. Dia mengatakan, warga asal kedua negara itu kemungkinan besar akan lolos kualifikasi sebagai pengungsi.

Belakangan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menunda keputusan tersebut. Dia mengatakan, kebijakan itu dikeluarkan oleh golongan sayap kanan dalam tubuh pemerintahannya.

Dalam sebuah unggahan di Facebook, Netanyahu akan menunda keputusan tersebut hingga peremuan dengan perwakilan pemerintah di Selatan Tel Aviv. Kawasan tersebut merupakan daerah yang banyak dihuni oleh para pencari suaka asal Afrika.

Kendati, kebijakan itu tetap diragukan oleh pencari suaka yang sudah menetap di Israel, salah satunya Helen Kidane. Dia mengatakan, pemerintah Israel kerap mengganti secara spontan kebijakan mereka. Menurut dia, keputusan yang mendukung para pengungsi juga akan berlaku semetara.

Kidane merupakan warga negara asal Eritrea yang sudah tinggal sekitar tujuh tahun di Israel. Dia mengungkapkan, pemerintah setempat tidak terlalu memperhatikan keamanan dan fasilitas umum para pengungsi. Dia mengatakan, pengungsi tetap dibuat menderita secara ekonomi dan psikologis melalui kebijakan pemerintah.

"Secara finansial, mereka mengambil 34 persen gaji para pengungsi dan tidak ada fasilitas publik yang disediakan bagi pengungsi," kata Helen Kidane.

Hal serupa juga diungkapkan wanita bernama samaran, Fria. Dia mengatakan, pengunsi asal Afrika hidup dalam kondisi sulit. Dia mengungkapkan, mereka kerap mendapat hinaan verbal yang berbau rasisme. Dia mengatakan, orang-orang Israel juga kerap melempar barang-barang bekas terpakai seperti telur dan kaleng soda.

Menurut Fria, kesepakatan dengan PBB hanya akan memberikan mereka hak tinggal untuk lima tahun. Dia melanjutkan, lebih dari itu para pengungsi akan menghadapi hal yang sama lagi. Mereka, katanya, akan terus hidup dalam kondisi yang sulit.

Fria mengatakan, semua keluarga yang menetap di Israel hidup dalam kondisi yang tidak baik, bahkan untuk anak-anak yang lahir di negara tersebut. Dia mengatakan, mereka tidak diberikan asuransi kesehatan. Pemeritah, katanya lagi, tidak menyediakan kebutuhan dasar untuk anak-anak sehingga membuat keluarga hidup menghadapi banyak masalah.

"Kami tidak memiliki asuransi kesehatan yang sama dengan orang Israel. Meskipun kami membayar dari kantong kami sendiri. Kami tidak akan mendapatkan perawatan yang baik. Jika seseorang sakit dan dia pergi ke keadaan darurat, mereka tidak akan mengobatinya," kata wanita 32 tahun itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement