Kamis 23 Aug 2018 16:09 WIB

Aktivis Perempuan Arab Saudi Terancam Hukuman Mati

Aktivis perempuan yang menyuarakan hak asasi manusia disidang di pengadilan terorisme

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Nur Aini
Seorang perempuan Saudi yang mengendarai mobil
Foto: Reuters
Seorang perempuan Saudi yang mengendarai mobil

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Human Rights Watch (HRW) mengkritik upaya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Arab Saudi untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap lima aktivis hak asasi manusia. Kelima aktivis perempuan itu kini tengah menjalani sidang di pengadilan terorisme Arab Saudi.

HRW berpendapat, hukuman mati tidak pantas diberikan mengingat tuduhan yang diajukan terhadap para aktivis itu bukanlah kejahatan besar. Tuduhan itu juga bukan merupakan hasutan untuk memprotes, meneriakkan slogan yang memusuhi rezim, atau memberikan dukungan moral kepada para demonstran.

Otoritas Arab Saudi kini tengah menahan sejumlah aktivis hak-hak perempuan dan hak asasi manusia. Mereka tengah berada dalam masa penahanan praperadilan tanpa perwakilan hukum selama lebih dari dua tahun. Mereka akan kembali menjalani proses persidangan pada 20 Oktober nanti.

"Eksekusi apapun tentu mengerikan, tetapi mencari hukuman mati bagi aktivis seperti Israa al-Ghomgham, yang bahkan tidak dituduh berperilaku kasar, sangat mengerikan," kata Direktur HRW di Timur Tengah Sarah Leah Whitson seperti diwartakan Aljazirah, Kamis (23/8).

Israa al-Ghomgham merupakan wanita Arab Saudi pertama yang akan menghadapi hukuman negara terkait aktivitas dalam bidang HAM. Dia bekerja untuk mendokumentasikan demonstrasi massa di provinsi timur Arab Saudi dari 2011 lalu. Perempuan tersebut akhirnya diamankan aparat pada 2015 bersama dengan suaminya.

Ghomgham bersama dengan sejumlah aktivis lainnya tengah menjalani proses peradilan di Pengadilan Khusus Kriminal di Arab Saudi (SCC). HRW mengatakan, pengadilan yang didirikan pada 2008 lalu itu kerap menangani kasus terorisme dan sejak itu digunakan untuk mengadili para pembangkang negara.

Padahal, pemerintah Arab Saudi tengah melakukan reformasi sosial terkait hak-hak perempuan dan ekonomi di bawah pangeran Mohammed bin Salman. Pada September 2017 lalu, Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud menandatangani dekret kerajaan untuk memberikan hak bagi perempuan untuk mengemudi. Bersamaan dengan itu, sejumlah partisipasi yang lebih besar di ranah publik juga terbuka bagi perempuan.

Akan tetapi, hal itu berjalan beriringan dengan penangkapan aktivis HAM Arab Saudi yang menuntut kesetaraan gender. Sebanyak 13 wanita telah ditangkap sejak Mei lalu. Beberapa di antaranya telah dibebaskan namun sembilan sisanya masih dikurung tanpa gugatan yang jelas.

"Jika pangeran benar-benar serius tentang reformasi, dia secepatnya harus menjamin keselamatan aktivis yang ditahan akan HAM mereka," kata Sarah Leah Whitson.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement