Ahad 07 Oct 2018 16:14 WIB

Ketakutan Pengungsi Rohingya di India

India menyebut deportasi sebagai bagian dari penegakan hukum.

Rep: Marniati/ Red: Teguh Firmansyah
Pembersihan Etnis Rohingya
Foto:
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,

Sekitar 16.500 pengungsi, termasuk Sahidullah, telah dikeluarkan kartu identitas oleh Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Kartu identitas ini membantu  pengungsi dari tindakan pelecehan, penangkapan sewenang-wenang, penahanan dan deportasi.

Namun India tidak mengakui kartu-kartu itu. India menolak pernyataan PBB yang menyebut mendeportasi Rohingya melanggar prinsip refoulement, yakni mengirim kembali pengungsi ke tempat di mana mereka menghadapi bahaya.

"Siapa pun yang telah memasuki negara itu tanpa izin hukum yang sah dianggap ilegal. Sesuai hukum, siapa pun yang ilegal harus dikirim kembali. Sesuai undang-undang mereka akan dipulangkan," kata A. Bharat Bhushan Babu, juru bicara Departemen Dalam Negeri.

Dalam beberapa hari terakhir, kantor berita Reuters mewawancarai belasan Rohingya di dua pemukiman, satu di kota Jammu dan Delhi.

Dari hasil penelusuran itu, diketahui  bahwa banyak pengungsi Rohingya yang takut pemerintahan Narendra Modi akan bertindak untuk mendeportasi semua Muslim Rohingya dari negara itu. Dengan pemilihan umum yang dijadwalkan pada  Mei mendatang, mereka khawatir Rohingya akan dijadikan taktik populis yang digunakan oleh Modi dan Bharatiya Janata Party (BJP).

Di negara bagian pusat Madhya Pradesh pada  Sabtu, kepala BJP, Amit Shah mengatakan,  semua imigran gelap 'seperti rayap yang memakan keamanan negara'."Pilih kami kembali tahun depan dan BJP tidak akan mengizinkan satu pun dari mereka untuk tinggal di negara ini," kata Shah, tanpa secara khusus menyebutkan setiap kelompok migran.

Sahidullah, tidak hanya mengkhawatirkan kerabatnya yang ditahan tetapi juga keluarganya yang tinggal di daerah yang mayoritas Hindu di satu-satunya negara bagian yang didominasi Muslim India, Jammu & Kashmir, di ujung utara negara itu.

Wilayah itu  berbatasan dengan Pakistan dan merupakan rumah bagi separatis Muslim yang memerangi pemerintah India. Daerah tersebut memiliki populasi terbesar Rohingya di negara itu dengan sekitar 7.000 orang tersebar di berbagai permukiman darurat, sebagian besar di wilayah Jammu.

"Kami datang ke India karena orang-orang memberi tahu kami segalanya lebih baik di sini, ada lebih banyak pekerjaan dan orang bisa bergerak bebas," kata Sahidullah.

Sahidullah bekerja sebagai pembersih di showroom mobil di kota Jammu. Ia harus menghidupi ibu, istri dan empat anaknya. "Semua itu benar dan kami berterima kasih kepada India karena membiarkan kami tinggal di sini. Tapi kebencian terhadap kami sedang berkembang," katanya.

Mohammed Arfaat, seorang pemimpin pemuda Rohingya berusia 24 tahun di Jammu, mengatakan  penduduk setempat sering menuduh mereka memiliki hubungan dengan militan tanpa bukti apa pun. "Mereka ingin kami keluar dari sini dan itu membuat keluarga kami khawatir. Semua orang di sini sadar akan deportasi dan takut," kata Arfaat.

Pihak berwenang India mengatakan pemulangan tujuh orang itu merupakan prosedur rutin. India akan memulangkan semua orang asing  ilegal  ke negara asal mereka.

Namun UNHCR menyatakan keprihatinan yang mendalam atas keselamatan dan keamanan Rohingya yang dideportasi. UNHCR mengatakan para Rohingya tersebut telah ditolak akses ke penasihat hukum dan kesempatan untuk memiliki klaim suaka mereka ditinjau. "Kondisi saat ini di negara bagian Rakhine di Myanmar tidak kondusif untuk keamanan, tidak bermartabat  bagi pengungsi Rohingya untuk kembali," kata jurubicara UNHCR Andrej Mahecic.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement