REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Mesir membatasi penjualan rompi kuning menjelang peringatan gerakan revolusi 2011. Pembatasan ini dilakukan untuk menghindari munculnya demonstrasi warga Mesir karena meniru unjuk rasa 'rompi kuning' yang terjadi di Prancis.
BBC melaporkan, penjual peralatan keamanan hanya dapat menjual rompi kuning secara grosir kepada perusahaan-perusahaan terverifikasi yang telah mendapatkan persetujuan polisi. Pejabat juga telah meminta pemilik toko untuk melaporkan siapa pun yang mencoba untuk membeli rompi kuning.
Ribuan pengunjuk rasa di Prancis mengenakan rompi kuning selama melakukan demonstrasi antipemerintah beberapa pekan terakhir ini. Awalnya, mereka keberatan dengan rencana kenaikan pajak bahan bakar, tapi kemudian menunjukkan ketidakpuasan yang lebih luas terkait kebijakan ekonomi Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Setelah demonstrasi yang diwarnai kerusuhan terus terjadi selama empat minggu, Macron menawarkan kenaikan upah minimum dan konsesi pajak.
Para pengunjuk rasa di luar Prancis, termasuk di Belgia dan Belanda, juga telah mengadopsi pakaian serupa dalam melakukan aksi protes, yaitu rompi kuning. Sementara, situs berita Inggris The Independent melaporkan adanya gerakan 'rompi merah' yang telah diluncurkan di Tunisia.
Baca juga, Demonstran Rompi Kuning: Ada Ketidakadilan Sosial di Prancis.
Media Pemerintah Mesir melaporkan, aksi protes 'rompi kuning' di Prancis secara potensial bisa ditiru di Mesir. Pihak berwenang Mesir khawatir warganya akan melakukan aksi serupa untuk memperingati penggulingan mantan presiden Mesir Husni Mubarak pada 25 Januari 2011 seperti yang mereka lakukan pada tahun-tahun sebelumnya.
Seorang pria bernama Mohamed Ramadhan telah ditahan selama 15 hari dan dituduh mengganggu ketertiban umum. Ia memiliki rompi kuning dan mengunggahnya di jejaring sosial Facebook.
Sementara itu, beberapa pemilik toko telah diminta untuk menandatangani surat perjanjian untuk tidak menjual pakaian itu. Pembatasan penjualan rompi kuning akan berlaku hingga akhir Januari.
Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi yang dilantik untuk masa jabatan kedua pada Juni lalu telah bersumpah untuk menghentikan kekerasan, terorisme, dan ekstremisme. Tapi, kelompok-kelompok hak asasi manusia telah menuduhnya mencoba menghancurkan semua perbedaan politik di Mesir.