Selasa 09 Apr 2019 12:24 WIB

Eskalasi Meningkat, Bandara Mitiga di Tripoli Diserang

Serangan udara membuat situasi di Libya memburuk.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ani Nursalikah
Foto satelit menunjukkan Bandara Mitiga setelah diserang di Tripoli, Libya, Senin (8/4).
Foto: 2019 Maxar Technologies via AP
Foto satelit menunjukkan Bandara Mitiga setelah diserang di Tripoli, Libya, Senin (8/4).

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Eskalasi kekerasan di Tripoli, Libya semakin meningkat pascaserangan udara yang menghantam satu-satunya bandara yang berfungsi di kota tersebut. Para menteri luar negeri Uni Eropa bertemu di Brussels untuk mencoba mengurangi eskalasi itu.

Bandara Mitiga, di pinggiran timur ibu kota ditutup setelah terkena serangan udara oleh pasukan pro-Haftar. Penumpang terlihat meninggalkan terminal.

Baca Juga

Selain itu, pertempuran juga berlangsung di Bandara Internasional Tripoli yang terletak 15 mil dari pusat kota. Bandara tersebut tidak berfungsi sejak pertempuran pada 2014.

Dilaporkan The Guardian, Selasa (9/4), Koordinator Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Libya, Maria do Valle Ribeiro mengatakan, bentrokan tersebut membuat layanan darurat membantu korban dan warga sipil menjadi terkendala. Meningkatnya kekerasan juga telah merusak saluran listrik dan memperburuk situasi bagi para migran yang ditahan di pusat-pusat penahanan di Tripoli.

Di Luksemburg, Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt mengatakan para menteri luar negeri Uni Eropa telah mencapai konsensus tidak ada solusi militer di Libya. Hunt menyebut proses perdamaian oleh PBB harus didukung.

Libya telah terbelah menjadi dua faksi, yakni faksi yang mendukung Haftar di timur dan faksi lainnya berbasis di Tripoli, termasuk pemerintah yang didukung PBB dan dipimpin oleh Fayez al-Sarraj.

Inggris memimpin langkah dan mengeluarkan pernyataan di markas PBB, New York mengecam Haftar. Dalam sebuah draft, Inggris menyerukan, mereka yang merusak perdamaian dan keamanan di Libya akan dimintai pertanggungjawaban.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengeluarkan pernyataan yang menyebut Haftar merupakan sumber masalah. Dia meminta semua pasukan di Libya kembali pada status quo ante.

"Kami telah menjelaskan kami menentang serangan militer oleh pasukan Khalifa Haftar, dan mendesak agar segera menghentikan operasi militer ini," kata Pompeo.

Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini mengatakan, Uni Eropa memita kepada semua pemimpin Libya, terutama Haftar kembali ke meja perundingan. Uni Eropa telah meminta gencatan senjata, namun serangan udara yang terjadi tampaknya semakin membuat situasi memburuk.

Kerusuhan di Libya semakin dalam pada akhir pekan, setelah pemerintah di Tripoli mengatakan akan melancarkan serangan balik terhadap pasukan Haftar. Badan pengungsi PBB khawatir dengan ribuan orang terjebak dalam baku tembak dan pusat-pusat penahanan di zona konflik. Perang saudara di Libya juga akan mengganggu pasokan minyak dan gas, memicu lebih banyak migrasi ke Eropa, dan memungkinkan militan Islam untuk mengeksploitasi kekacauan.

Pemerintah Tripoli telah dijalankan oleh Sarraj sejak 2016, sebagai bagian dari kesepakatan yang ditengahi PBB yang diboikot oleh Haftar. Haftar telah mengumpulkan dukungan diplomatik di Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab dan beberapa bagian dari pemerintah Prancis.

Sumber-sumber pemerintah Prancis pada Senin (8/4) bersikeras mereka tidak mengetahui tentang rencana serangan Haftar di Tripoli. Prancis juga membantah mereka secara pribadi berusaha untuk merusak proses perdamaian PBB.

Sementara itu, anggota parlemen Inggris Mark Field mendesak Haftar untuk mundur. Parlemen Inggris juga mendesak pemerintah untuk memberikan tekanan kepada sekutu Inggris yakni Uni Emirat Arab agar mengakhiri dukungannya terhadap tindakan Haftar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement