Rabu 10 Jul 2019 12:44 WIB

Korban Tewas Akibat Konflik di Libya 1.000 Orang

Libya dilanda kekacauan dengan faksi-faksi bersenjata yang ingin kuasai pemerintah.

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Kendaraan terbakar di distrik bagian selatan Abu Salim, Tripoli, Libya, awal pekan ini, lantaran konflik yang melibatkan dua pemerintahan di negara itu.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Kendaraan terbakar di distrik bagian selatan Abu Salim, Tripoli, Libya, awal pekan ini, lantaran konflik yang melibatkan dua pemerintahan di negara itu.

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan pertempuran antara milisi dari Tentara Nasional yang dipimpin Khalifa Haftar (LNA) dan pasukan pemerintah yang berlangsung sejak awal April lalu untuk memperebutkan Ibu Kota Tripoli, Libya telah menewaskan setidaknya 1.000 orang, Selasa (9/7). Eskalasi pertempuran yang terus memburuk dikhawatirkan dapat menimbulkan lebih banyak korban berjatuhan, khususnya warga sipil.

Sebelumnya, Dewan Keamanan PBB telah mendesak semua pihak yang terlibat dalam konflik di Libya menghindari aksi militer dan menghentikannya segera. Tindakan Haftar yang mengerahkan pasukan ke Tripoli dinilai dapat semakin menghambat proses politik yang diperlukan dan terus membuat warga sipil dalam bahaya, serta memperburuk penderitaan mereka.

Baca Juga

Namun, seruan itu masih diabaikan. Bahkan, pada awal bulan ini, LNA mengatakan bersiap memulai pengeboman  besar-besaran yang menargetkan Tripoli dengan alasan 'cara tradisional' perang telah usai.

Hingga kemudian pada 3 Juli lalu, terjadi serangan udara yang menargetkan sebuah pusat penahanan migran di Tripoli. Meski demikian, LNA membantah keterlibatan dalam insiden yang telah membuat lebih dari 50 orang tewas dan sedikitnya 130 lainnya terluka tersebut.

Sejak presiden Muammar Gaddafi digulingkan pada 2011, Libya dilanda kekacauan dengan faksi-faksi bersenjata yang ingin menguasai pemerintahan secara penuh. Pemerintahan negera itu terbagi atas dua, di mana di Ibu Kota Tripoli, didukung oleh internasional, sementara LNA menguasai wilayah timur dan membentuk pemerintahan.

LNA terus berupaya untuk dapat menguasai dan mengendalikan Libya secara keseluruhan. Situasi terus diperburuk dengan kedatangan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan kelompok militan lainnya yang mengambil kesempatan atas kondisi di negara tersebut.

Sejumlah kritikus berpendapat LNA sebenarnya merupakan bagian dari gabungan kelompok milisi, atau bahkan termasuk dalam kelompok militan. Banyak pengamat yang juga pernah mempertanyakan pasukan militer yang dimiliki Haftar. Beberapa menilai bahwa pria tersebut nampaknya telah mencoba membujuk  milisi tertentu untuk membelot kepadanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement