Selasa 01 Oct 2019 06:10 WIB

Tantangan 70 Tahun Partai Komunis Cina

Pemerintahan Trump melihat Cina sebagai ancaman.

Rep: Lintar Satria/ Red: Ani Nursalikah
Presiden China Xi Jinping bersiap menyampaikan pidatonya saat makan malam peringatan 70 tahun China di Great Hall of the People di Beijing, Senin (30/9).
Foto: AP Photo/Andy Wong
Presiden China Xi Jinping bersiap menyampaikan pidatonya saat makan malam peringatan 70 tahun China di Great Hall of the People di Beijing, Senin (30/9).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Presiden Cina Xi Jinping memiliki ambisi untuk negaranya, yaitu meraih 'Kebangkitan Nasional' sebagai negara kuat dan makmur pada 2049 atau tepat 100 tahun kekuasaan Partai Komunis di Negeri Panda itu.

Namun, ada satu masalah yang perlu diperhatikan. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump juga ingin negaranya kembali hebat.

Baca Juga

Bentrokan yang muncul antara dua kekuatan dunia ini menjadi pusat tantangan yang  dihadapi Partai Komunis Cina menjelang perayaan 70 tahun kekuasaan mereka di Negeri Tirai Bambu. Tak diragukan lagi partai itu akan berkuasa lebih lama dari pada Uni Soviet yang berkuasa selama 74 tahun sebelum runtuh pada 1991 karena stagnasi ekonomi.

Partai Komunis Cina dapat merekayasa kebijakan yang mengangkat tarif hidup jutaan rakyatnya. Partai Komunis mengubah negara itu menjadi kekuatan ekonomi dunia di saat yang sama menindak tegas perbedaan pendapat.

Namun, karena menuanya populasi, semakin moderatnya ekonomi dan ambisi Xi baik dibidang ekonomi maupun militer yang bertabrakan dengan kepentingan AS, formula yang telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi selama bertahun-tahun harus segera diubah. Masa di mana Cina menghadapi tantangan yang mudah tampaknya sudah berakhir.

"Tiga puluh tahun terakhir, mereka memiliki ide yang cukup baik, sepanjang partai memberikan pertumbuhan ekonomi yang kuat, menjadi pragmatik, menjaga stabilitas domestik, tidak mengacau, tidak mengambil risiko besar, mereka akan baik-baik saja, sekarang mereka tidak tahu," kata pakar politik Cina Claremont McKenna College Minxin Pei, Senin (30/9). 

Karena tingginya pertumbuhan ekonomi Cina, beberapa negara maju termasuk Amerika Serikat ingin membantu Cina dengan teknologi dan investasi. Banyak yang yakin saat Cina semakin saling tergantung dengan bagian dunia lainnya, maka negara itu akan ditarik ke sistem yang mengatur hubungan internasional yang didominasi negara Barat. 

Sejalan dengan itu, Cina bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2001. Mereka setuju mematuhi peraturan perdagangan internasional sebagai imbalan diizinkan mengakses pasar luar negeri.

Ketika itu banyak suara yang memperingatkan bahayanya membiarkan Cina masuk WTO. Sekarang suara-suara itu kembali mengemuka mulai dari AS, Australia sampai beberapa bagian di Eropa.

Pemerintahan Trump melihat Cina sebagai ancaman. Ia membatasi akses perusahaan-perusahaan Cina untuk mendapatkan teknologi AS dan meningkatkan tarif impor komoditas mereka. Hal tersebut memicu China memberlakukan langkah yang sama ke produk AS dan meningkatkan eskalasi perang dagang yang mengancam ekonomi global.

Di segi militer, AS dan Cina bermain tikus dan kucing di Laut Cina Selatan. Angkatan Laut Cina memperluas jangkauan mereka di perairan yang telah lama menjadi lokasi patroli AS. China yakin AS, India dan negara lain ingin menahan kebangkitan mereka.

Para pemimpin Cina pikir negara-negara lain ingin mereka tetap bertahan di posisi semula sebagai negara dominan di Asia, sebelum Jepang menginvasi negara itu pada abad ke-19 yang Cina sebut sebagai abad kehinaan. "Cina akan, terus menyelesaikan masalah melalui kerja sama dengan dunia luar, tapi Cina harus bersiap menggunakan tongkat pemukul untuk menegakkan hak-haknya yang sah dan mempertahankan apa yang telah dicapai dalam 70 tahun," kata profesor hubungan internasional Renmin University  Li Qingsi.

Pada satu tahapan, lintasan Cina menunjukan bentrokan dengan AS tidak bisa dihindari. Di satu sisi, bukan rahasia lagi Xi berambisi membuat China sebagai kekuatan ekonomi dan militer. Mengubah pendekatan yang dilakukan pendahulunya Deng Xiaoping yang tetap menjaga sikapnya di pentas internasional.

Pemerintahan Xi mengatakan mereka tidak akan takut dengan ancaman. Siap untuk memukul kembali tuntutan AS dalam perdagangan dan memperluas lagi kehadiran mereka di Laut Cina Selatan.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement