Rabu 16 Oct 2019 21:42 WIB

AS Lakukan Serangan Siber ke Iran

AS ingin melemahkan kemampuan Iran menyebarkan propaganda di dunia maya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Perang siber (Cyber War). Ilustrasi.
Foto: post.jargan.com
Perang siber (Cyber War). Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) dilaporkan melakukan serangan siber terhadap Iran pada September lalu. Hal itu dilakukan setelah fasilitas minyak Saudi Aramco diserang menggunakan rudal jelajah dan pesawat nirawak (drone). 

Dua pejabat AS yang mengetahui hal tersebut mengungkapkan, operasi siber dilancarkan pada akhir September. Tujuannya adalah melemahkan kemampuan Iran dalam menyebarkan propaganda di dunia maya. 

Baca Juga

Salah satu pejabat AS mengatakan serangan itu mempengaruhi perangkat keras fisik. Namun, dia tidak memberikan keterangan lebih terperinci. 

Pentagon menolak mengomentari laporan tersebut. "Sebagai masalah kebijakan dan untuk keamanan operasional, kami tidak membahas operasi siber, intelijen, atau perencanaan," kata juru bicara Pentagon Elissa Smith, Rabu (16/10). 

Belum ada informasi apakah AS melakukan serangan siber lain sejak akhir September. Namun Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi Iran Mohammad Javad Azari-Jahromi telah mengetahui laporan tentang serangan itu. "Mereka pasti memimpikannya," ujar dia saat ditanyai mengenai serangan tersebut. 

Pakar siber dari Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di Washington James Lewis menilai, memang tidak mungkin mencegah perilaku Iran dengan serangan militer konvensional. Oleh sebab itu, serangan siber dapat menjadi opsi alternatif. 

"Anda bisa melakukan perusakan tanpa membunuh orang atau meledakkannya. Itu menambahkan opsi pada seperangkat alat yang belum pernah kami miliki sebelumnya dan kesediaan kami untuk menggunakannya adalah penting," kata Lewis. 

Investigasi yang dilakukan Reuters tahun lalu menemukan lebih dari 70 situs web propaganda Iran. Mereka dikerahkan ke 15 negara. Namun belum ada informasi tentang apakah situs-situs itu dikendalikan oleh Pemerintah Iran. 

Sejak Mei 2018 hubungan Iran dan AS kembali memanas. Hal itu terjadi setelah Washington memutuskan keluar dari perjanjian nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). 

Washington kemudian menerapkan kembali sanksi ekonomi berlapis terhadap Teheran. Itu merupakan taktik AS agar Iran bersedia merundingkan kembali ketentuan dalam JCPOA, termasuk mengatur tentang uji coba rudal balistik. 

Namun, Iran menolak tunduk pada tekanan AS. Sebagai langkah balasan, Iran memutuskan menangguhkan satu per satu komitmennya dalam JCPOA, termasuk melakukan pengayaan uranium melampaui ambang batas yang telah ditetapkan. 

Iran dan AS kembali terlibat ketegangan setelah adanya penyerangan terhadap sejumlah kapal tanker di Selat Hormuz pada Mei dan Juni lalu. AS menuding Iran sebagai dalang di balik aksi tersebut. Teheran telah dengan tegas membantah tuduhan itu. 

Kedua negara kembali bersitegang saat dua fasilitas minyak Saudi Aramco diserang pada 14 September lalu. Serangan itu dilancarkan dengan mengerahkan 18 pesawat nirawak dan tujuh rudal jelajah. Sebanyak lima persen produksi minyak dunia dilaporkan terpangkas akibat peristiwa tersebut. Aramco diketahui merupakan perusahaan minyak terbesar di dunia.

Kelompok pemberontak Houthi Yaman sebenarnya mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu. Namun, klaim mereka diragukan Barat mengingat kecanggihan dan daya jangkau serangan. 

AS bersama Inggris, Prancis, dan Jerman justru menuding Iran sebagai pihak yang mendalangi serangan ke fasilitas Aramco. Iran kembali membantah dengan tegas dugaan keterlibatannya dalam serangan Aramco. Teheran meminta pihak-pihak yang menuduhnya menyajikan bukti kredibel. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement