Kamis 09 Jan 2020 15:43 WIB

Undang-Undang Anti-Hoaks di Singapura Digugat

Undang-Undang Anti-Hoaks Singapura dinilai membungkam kritik terhadap pemerintah.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Kota Singapura
Foto: Dumalana
Kota Singapura

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Partai oposisi di Singapura melayangkan keberatan hukum pertama terhadap undang-undang anti-hoaks daring. Peraturan yang disahkan Oktober tahun lalu menurut para aktivis digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah menjelang pemilihan.

"Kami melakukan tindakan hukum ini karena, sesulit apa pun, kami harus membela sesama warga Singapura dan memperjuangkan sedikit ruang yang tersisa di Singapura untuk menegakkan kebebasan demokratis kami," kata Partai Demokrat Singapura (SDP) di situsnya Rabu (8/1) malam.

Baca Juga

Tindakan Perlindungan dari Kepalsuan Daring dan Manipulasi (POFMA) memberikan pemerintah kekuatan untuk memberikan koreksi di sebelah posting yang diputuskan salah. Keberatan hukum itu meminta pengadilan untuk membatalkan perintah pemerintah untuk memperbaiki dua posting Facebook dan sebuah artikel di situs webnya.

Keberatan tersebut diajukan terhadap Menteri Tenaga Kerja Josephine Teo yang bulan lalu memerintahkan koreksi dilakukan dan kemudian menolak aplikasi untuk menarik pesanan. Pengadilan Tinggi telah menetapkan untuk mendengarkan tantangan SDP pada Kamis pekan depan.

Laporan Aljazirah menyatakan, manajemen ekonomi Singapura mendapatkan banyak tanggapan positif. Namun, pemerintah sering dikritik karena mengekang kebebasan sipil di negara kota berpenduduk lima juta orang tersebut. Negara itu berada di peringkat 151 dari 180 dalam World Freedom Freedom Index RSF.

People's Action Party (PAP) telah memerintah Singapura selama beberapa dekade dan diperkirakan akan memenangkan pemilihan yang akan berlangsung dalam beberapa bulan. Dengan peraturan anti-hoaks itu dapat dimanfaatkan untuk melancarkan kelanjutan kekuasaan yang ada.

Pemerintah menegaskan undang-undang tersebut diperlukan untuk mencegah sirkulasi informasi yang keliru yang dapat menabur perpecahan di negara multietnis dan multi-agama. Undang-undang diklaim tidak akan diterapkan pada opini, sindiran, kritik, atau parodi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement