Selasa 05 May 2020 01:41 WIB

Arab Saudi Kalah Perang Minyak dan Kehilangan Rusia?

Rusia mulai menyadari bahwa Arab Saudi banyak berjanji tetapi sedikit menepati.

Pejabat perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco, tengah memeriksa sebuah pengeboran minyak di Arab Saudi.
Foto:

Sejak 2017 Saudi telah mencoba memanfaatkan hubungan kerajaan itu dengan Rusia sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian pemerintahan AS.

Namun, setelah terjadinya perang minyak ini, Saudi berisiko kehilangan keduanya.

Setelah pertemuan terakhir OPEC dan pertemuan luar biasa para menteri energi G20 pada 10 April, banyak hal mengindikasikan bahwa mereka sedang menuju skenario kedua.

Namun, Meksiko menolak untuk memotong 400 ribu barel per hari, yang membawa mereka kepada skenario ketiga.

Sejumlah senator Republik di AS menanggapi situasi ini dengan mengancam Arab Saudi bahwa "Washington akan memotong bantuan militer jika Kerajaan tidak mengurangi produksinya, dan mengakhiri perang harga".

Beberapa yang lain, seperti Senator Kevin Cramer, mengatakan, "Langkah selanjutnya Arab Saudi akan menentukan apakah kemitraan strategis kami dapat diselamatkan."

Tetapi Senator Ted Cruz melangkah lebih jauh dengan mengancam Saudi: "Jika Anda ingin berperilaku seperti musuh Amerika, maka kami juga akan memperlakukan Anda seperti musuh kami."

Pada tingkat lain, dampak perang minyak terhadap kebijakan luar negeri Saudi terlihat jelas.

Merasakan kepedihan dari harga minyak yang rendah dan biaya tinggi dari petualangan regional mereka, Saudi tampaknya menjadi lebih terkekang dari sebelumnya.

Prioritas mereka bergeser, dan karena pandemi dan perang minyak, mereka perlu menyuntikkan banyak uang ke arena domestik.

Pekan lalu, Riyadh memutuskan untuk mengumumkan gencatan senjata sepihak di Yaman.

Jika Arab Saudi terus menantang Rusia, maka Moskow bisa mempersulit situasi Kerajaan yang sudah rumit dengan Iran, Suriah, dan Libya, dan bahkan di Yaman.

 

sumber : Anadolu Agency
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement