REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia mendapatkan segala pujian atas kesepakatan damai antara Azerbaijan dan Armenia yang berkonflik di Nagorno-Karabakh selama berbulan-bulan. Rusia meninggalkan Minsk Group yang dinilai tidak memberikan kontribusi nyata atas penyelesaian masalah.
Perjanjian perdamaian terbaru ini adalah prestasi diplomatik untuk Presiden Rusia Vladimir Putin. Dia dinilai dapat menengahi keinginan dari kedua pihak untuk mengakhiri perang yang telah menggugurkan ribuan nyawa.
"Saya ingin mengungkapkan dengan senang hati bahwa kami telah mencapai kesepakatan untuk menghentikan pertumpahan darah," kata Putin dikutip dari Anadolu Agency.
Namun bukan hanya nama Rusia yang mendapatkan sorotan dalam momen ini. Kiprah Turki pun tidak kalah menarik perhatian. Kedua negara yang saling berseberangan dalam mendukung negara berkonflik ini menjadi raja baru di Kaukasus Selatan.
Turki secara terang-terangan menyatakan dukungan dan memasok armada untuk membantu Azerbaijan. Sedangkan Rusia merupakan sekutu dekat dan memiliki perjanjian dengan Armenia.
“Ada konfigurasi geopolitik yang benar-benar baru,” kata pakar politik berpengaruh yang dekat dengan Kremlin, Fyodor Lukyanov, dikutip dari The Guardian.
Lukyanov menyebut Turki sebagai bagian penting dari jalannya konflik tersebut. “Kekalahan militer Armenia berarti status quo sebelumnya tidak mungkin dipulihkan. Artinya, peran Rusia sebagai penjamin stabilitas sangat dituntut oleh kedua belah pihak," ujarnya.
Dukungan Turki untuk Azerbaijan membantu melancarkan serangan enam pekan yang telah merebut Shusha, sebuah kota yang ditempatkan secara strategis di Nagorno-Karabakh. Serangan sekutu ini pun mengancam kota terbesar di kawasan itu, Stepanakert, sampai Rusia ikut turun tangan dengan pasukan penjaga perdamaian.
Pengaruh Turki pada konflik pun telah didokumentasikan dengan baik. Ankara menjual teknologi drone penting ke Baku. Perusahaan keamanan Turki melakukan kontrak dengan pejuang pemberontak dari Idlib untuk melakukan perjalanan ke Azerbaijan dan bertempur di garis depan konflik.
Selain itu, Turki pun membuka jalur langsung antara Azerbaijan dan eksklave di Nakhchivan, yang berbatasan dengan Turki. Langkah ini akan menciptakan jalur darat dari Turki ke daratan Azerbaijan.
Dikutip dari The Wall Street Journal, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan telah melakukan kontak dengan semua pihak untuk memantau implementasi perjanjian perdamaian. Namun, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan ketentuan pakta tersebut tidak meminta Ankara untuk memiliki peran penjaga perdamaian di lapangan.
"Tidak ada satu kata pun yang diucapkan tentang ini dalam pernyataan yang dipublikasikan," ujar Peskov.
Meski Turki tidak memiliki kesepakatan dalam pelaksanaan perjanjian, negara itu lebih dikenal keterlibatannya ketimbang sisa anggota Minsk Group yang didirikan Organisasi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) yang tidak mendapatkan kredit apa pun. Prancis dan Amerika Serikat (AS) hanya mendapatkan peran kecil dalam perdamaian antara Baku dan Yerevan.
"Kelompok Minsk pada dasarnya sudah tidak ada lagi," kata Lukyanov.
AS sempat menjadi penengah antara Baku dan Yerevan untuk melakukan gencatan senjata. Namun, upaya ini langsung dilanggar oleh kedua negara beberapa menit setelah diberlakukan.