Gallia Lindenstrauss, peneliti senior di Institut Studi Keamanan Nasional Universitas Tel Aviv, mengatakan kembalinya duta besar Turki itu tidak akan mengurangi kecurigaan antara kedua belah pihak, dengan Israel yang tampak "kurang antusias dalam mencoba memperbaiki hubungan" ini.
"Kedua pemimpin juga mendapat manfaat secara internal dan eksternal dari pertempuran retoris di antara mereka, oleh karena itu, ketika kesempatan muncul lagi, mereka cenderung menggunakan retorika yang berapi-api sekali lagi."
Turki adalah negara mayoritas Muslim pertama yang mengakui negara Israel pada 1949 dan selama periode pasca-perang keduanya menikmati hubungan yang hangat sebagai dua kekuatan non-Arab yang berorientasi Barat di wilayah tersebut.
Pemerintah Turki sebelum 2002, ketika Partai Keadilan dan Pembangunan yang berkuasa, membina hubungan dekat dan kerja sama luas di bidang pertahanan, perdagangan, dan pariwisata dengan Israel.
Erdogan mengunjungi Israel pada 2005, menawarkan untuk melayani sebagai utusan perdamaian atas pendudukan Palestina. Tapi serangan Israel di Gaza pada 2008-2009 memperburuk hubungan, dengan Turki menggambarkan serangan itu sebagai "terorisme yang disponsori negara".
Meskipun demikian, perdagangan tahunan antar-negara mencapai antara 4,5 miliar dan 6 miliar dolar AS selama delapan tahun terakhir. Pada 10 bulan pertama tahun ini, perdagangan kedua negara telah lebih dari 5 miliar dolar AS, menurut badan statistik pemerintah Turki.
Kembalinya hubungan diplomatik penuh hanya dapat meningkatkan hubungan ekonomi.