"Vaksinasi mungkin mengatasi krisis perawatan kesehatan COVID-19, namun jika ada skeptisisme vaksin, tidak akan ada kekebalan kelompok yang tercapai," kata Christian Muenz, profesor imunobiologi virus dari Universitas Zurich.
Untung-untungan?
Sejauh ini, Rusia telah menginokulasi 200 ribu lebih orang dengan suntikan Sputnik-V, yang menurut pengembangnya 91,4 persen terbukti manjur. Negara tersebut juga telah menandatangani kesepakatan produksi vaksin, termasuk dengan India.
Di Cina, kandidat vaksin Sinovac dan dua dari China National Pharmaceutical Group (Sinopharm) saat ini berada dalam uji coba tahap akhir. Tenaga medis dan pejabat di daerah perbatasan menjadi prioritas golongan yang mendapatkan suntikan vaksin.
Vaksin Sinopharm terdaftar di Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir. Sementara Sinovac memiliki kesepakatan untuk memasok Brasil, Turki, dan Indonesia. Vaksin Cina lainnya, termasuk dari CanSino Biologics, juga sedang dalam uji coba tahap akhir.
Namun, tidak semua proyek vaksin mencapai sasarannya. Sanofi dan GlaxoSmithKline menunda kandidat vaksin mereka setelah gagal melindungi orang yang lebih tua. Sebuah proyek vaksin buatan Australia juga gagal. Level kemanjuran vaksin AstraZeneca yang hanya 62% masih menuai tanda tanya.
Eric Topol, pendiri Scripps Research Translational Institute yang berbasis di California, AS, mengatakan vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna akan menjadi vaksin pendahulu yang sulit untuk diikuti.
"Kami tidak dapat menerima 62 persen jika bisa mendapatkan 95 persen," kata Topol.
ha/pkp (Reuters)