REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Aturan nasional baru mewajibkan pemuka agama merangkul kepemimpinan Partai Komunis dan sistem sosialis China. Langkah ini diyakini menambah batasan kebebasan beragama di negara itu.
Aturan Langkah-langkah Administrasi Personel Keagamaan diterbitkan oleh Administrasi Negara Urusan Agama awal bulan ini dan akan mulai berlaku pada Mei. Sementara, langkah-langkah tersebut menggarisbawahi banyak pengaturan yang sudah ada.
Sejak 2015, Presiden China Xi Jinping, telah berupaya membawa agama seperti Islam dan Kristen di bawah kendali partai melalui proses "Sinisisasi". Upaya ini menekankan, penganut agama harus menolak pengaruh asing.
Seperti dikutip dari SCMP, para pemimpin agama, pendeta, dan guru agama sekarang harus secara aktif mempromosikan kebijakan Sinisisasi untuk membawa agama di bawah kendali partai dan sejalan dengan budaya China. Aturan menetapkan bahwa mereka harus menjaga keamanan nasional dan persatuan etnis.
Dengan aturan baru tersebut, pemuka agama tidak dapat menerima panggilan di luar negeri atau terlibat dalam kegiatan keagamaan yang akan membahayakan keamanan nasional China. Mereka harus mematuhi proses registrasi terperinci dan hanya dapat melayani satu jemaat pada satu waktu.
"Alasan politik [lainnya] adalah untuk lebih membatasi kegiatan keagamaan dan para pemimpin agama," kata ilmuwan politik di Universitas Loyola Maryland yang mengkhususkan diri dalam hubungan negara-gereja di Cina, Carsten Vala.
Profesor agama di Purdue University, Indiana, Yang Fenggang, mengatakan aturan baru tersebut akan menambah beban administrasi pejabat urusan agama. Kondisi ini membuat lebih sulit bagi mereka untuk menegakkan aturan pada kegiatan keagamaan informal.
"Kapanpun peraturan tersebut mendefinisikan apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak, itu menetapkan batasan, tetapi pemuka agama yang disetujui oleh negara partai dapat menghindari dan melewati batas dengan cara yang kreatif,” kata Yang.