Pemerintah Perdana Menteri India Narendra Modi bersikeras mencabut status khusus Kashmir dalam upaya mengintegrasikan wilayah yang dilanda pemberontakan itu di India dan membukanya untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
Srivastava mengatakan ahli PBB mengeluarkan pernyataan tersebut tepat ketika India sedang menjamu sekelompok duta besar di Kashmir untuk menunjukkan kepada mereka situasi di lapangan. Para ahli itu, kata Srivastava, tidak menunggu jawaban dari pemerintah India atas pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan.
"Sebaliknya, mereka memilih merilis asumsi mereka yang tidak akurat kepada media. Siaran pers juga sengaja diatur waktunya bertepatan dengan kunjungan sekelompok duta besar ke Jammu dan Kashmir," ujar dia.
Lebih dari 50 ribu orang tewas dalam pemberontakan melawan kekuasaan New Delhi di Kashmir yang dimulai pada 1989, menurut hitungan pemerintah. Yang lain menyebutkan jumlah korban lebih dari 100 ribu.
Saingan India, Pakistan, mengeklaim Kashmir sebagai miliknya dan telah dua kali berperang dengan India terkait wilayah tersebut. Para ahli PBB mengatakan bahwa undang-undang baru dapat membuka jalan bagi orang luar untuk menetap di Kashmir dan mengubah demografi wilayah tersebut.