Kamis 20 May 2021 05:50 WIB

Menelisik Pemogokan Massal dan Pemberontakan Palestina

Mogok massal terakhir terjadi pada tahun 1936 lalu di era mandat Inggris.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Esthi Maharani
Warga Palestina berjalan melintasi pertokoan yang tutup sebagai aksi  mogok massal di Kota Hebron, Tepi Barat, Palestina.
Foto:

Pada 19 April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk di Nablus meminta warga Palestina untuk melancarkan pemogokan massal, menahan pembayaran pajak, dan memboikot produk-produk Yahudi. Mereka memprotes kolonialisme Inggris dan meningkatnya imigrasi Yahudi.

Beberapa hari sebelumnya, warga Palestina membunuh dua orang Yahudi di dekat Tulkarem yang menyebabkan lonjakan permusuhan antara orang Yahudi dan Palestina. Pada 25 April, komite nasional lokal bersatu membentuk Komite Tinggi Arab yang dipimpin oleh Mufti Agung Yerusalem Amin Husseini. Komite tersebut kemudian menjadi badan politik yang mengadvokasi orang-orang Palestina di bawah Mandat Inggris.

Gerakan itu terkenal karena mencakup sebagian besar masyarakat Palestina. Kampanye solidaritas juga  muncul di Timur Tengah, di kota-kota seperti Kairo, Beirut, dan Damaskus. Sebagian besar penduduk Palestina adalah petani yang dapat membantu mempertahankan pemogokan. Sayangnya, pasukan Inggris menekannya.

Otoritas Inggris mulai menangkap siapa pun yang dicurigai bertanggung jawab atas gerakan tersebut. Sementara itu, mereka tetap melanjutkan penghancuran rumah warga Palestina yang dilakukan oleh Israel. Pada saat yang sama, Inggris bekerja dengan dan melatih milisi Zionis seperti Haganah untuk menumpas kerusuhan Palestina.

Komite Tinggi Arab pada November 1936 mendesak warga Palestina untuk membatalkan pemogokan. Mereka mengatakan agar warga Palestina percaya bahwa Inggris akan melaksanakan tuntutan mereka yang sampai sekarang tidak pernah dipenuhi.

Dilansir MEE, Rabu (19/5), pemogokan massal berlangsung selama enam bulan yang kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Arab dari tahun 1936 sampai 1939. Selama tiga tahun, terjadi perlawanan senjata terhadap Inggris. Pasukan Inggris mengirim lebih dari 20 ribu tentara ke Palestina untuk menyelesaikan pemberontakan.

The Peel Commission, sebuah penyelidikan Inggris yang diluncurkan setelah pecahnya pemogokan Palestina secara resmi menyerukan pada tahun 1937 untuk pembagian Palestina menjadi dua negara. Warga Palestina menolak rencana tersebut karena akan melibatkan pemindahan lebih banyak tanah dan pemindahan paksa sekitar 225 ribu warga Palestina dibandingkan dengan 1.250 orang Yahudi.

Sementara itu, kepemimpinan Zionis terpecah. Ada yang berpendapat seluruh wilayah Palestina harus menjadi negara Israel. Baru pada tahun 1939, Inggris dihadapkan dengan Perang Dunia II yang menyebabkan pemberontakan itu berakhir. Inggris mengeluarkan Buku Putih yang berjanji untuk membatasi imigrasi Yahudi ke Palestina dan menjanjikan pembentukan negara Palestina merdeka dalam satu dekade.

Beberapa pihak memperkirakan 5.000 orang Palestina terbunuh, 15 ribu hingga 20 ribu terluka, dan 5.600 orang dipenjarakan antara tahun 1936 dan 1939. Akan tetapi, pada tenggat waktu sepuluh tahun kemudian, negara Israel didirikan dan ratusan ribu orang Palestina mengungsi yang dikenal sebagai Hari Nakbah. Meskipun pemberontakan gagal mencapai sebagian besar tujuannya, hal itu menjadi preseden bagi perlawanan Palestina di masa depan.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement