REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersikeras dia lebih baik mati daripada menyerahkan diri ke investigasi Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Ia hendak dibawa ke ICC atas tuduhan pelanggaran HAM dalam kampanye perang narkoba.
“Jika kamu benar-benar menginginkanku… itu di atas mayatku. Anda bisa membawa jenazah saya ke Belanda. Anda akan memiliki bangkai. Saya tidak akan pergi ke sana hidup-hidup. Tetapi jika saya melihat Anda di sini, saya akan pergi dulu," kata Duterte seperti diberitakan media lokal PhilStar, Rabu.
Pada Juni lalu atau sehari sebelum pensiun, Jaksa Utama ICC Fatou Bensouda mengumumkan pemeriksaan pendahuluan terhadap situasi di Filipina sudah selesai dan telah meminta izin pengadilan untuk melanjutkan investigasi.
Apabila diizinkan, investigasi terhadap Filipina akan dilanjutkan oleh penerus Fatou, Karim Khan. Presiden Duterte juga mengecam orang yang mengkritik perangnya terhadap narkoba.
Menurut Duterte, rakyat Filipina dan negara yang mendapat manfaat dari perang narkoba tersebut, sementara nyawa dia dan keluarganya dalam bahaya.
“Siapa yang sekarang mendapat masalah? Saya, keluarga saya, hidup mereka karena orang-orang ini akan membalas dendam. Saya bukan jutawan yang memiliki pasukan untuk mengawasi saya. Sayalah yang dalam masalah sekarang,” ucap Duterte.
Pernyataan Duterte muncul setelah 11 senator Amerika Serikat mendesak Presiden AS Joe Biden untuk mengutuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Duterte.
Duterte mengingatkan Departemen Luar Negeri AS agar tidak mengambil langkah-langkah yang memusuhi Filipina sebagai tanggapan atas tekanan dari anggota parlemen AS.
Sebelumnya, Fatou meyakini ada dasar yang masuk akal bahwa terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan yakni pembunuhan di Filipina antara 1 Juli 2016-16 Maret 2019 dalam konteks kampanye “war on drugs” pemerintah Filipina.
Meskipun Filipina telah keluar dari ICC pada 17 Maret 2019, menurut Fatou, pengadilan tetap memiliki kewenangan atas kejahatan yang diduga terjadi di sebuah negara ketika negara itu masih menjadi negara anggota Statuta Roma, perjanjian yang menciptakan ICC.
Pemerintah Filipina mencatat sekitar 6.600 orang telah tewas oleh polisi dalam tembak-menembak dengan tersangka pengedar narkoba sejak Presiden Filipina Rodrigo Duterte terpilih pada 2016. Namun, organisasi yang bergerak di bidang HAM memperkirakan jumlah korban tewas lebih tinggi.