Rabu 18 Aug 2021 09:01 WIB

Kisah Najia dari Faryab dan Ketakutan Terhadap Taliban

Taliban berjanji untuk membentuk pemerintahan Islam inklusif di Afghanistan

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Milisi Taliban berjaga di gerbang utama menuju istana kepresidenan Afghanistan, di Kabul, Afghanistan, Senin, 16 Agustus 2021.
Foto:

Saat Taliban memerintah Afghanistan, wanita yang tidak mematuhi perintah akan dipukuli. Taliban membantah telah membunuh Najia. Tetapi klaim mereka dibantah oleh saksi dan pejabat lokal yang mengonfirmasi kematian seorang wanita berusia 45 tahun yang rumahnya dibakar.

Seorang tetangga yang meneriaki para pria untuk berhenti mengatakan, banyak wanita di desa Najia adalah janda tentara Afghanistan.  Mereka mencari nafkah dengan menjual susu, tetapi Taliban justru melarangnya.   "Kami tidak memiliki laki-laki di rumah kami, apa yang harus kami lakukan? Kami menginginkan sekolah, klinik, dan kebebasan seperti perempuan lainnya," ujar warga tersebut.

Bagi para wanita Afghanistan, aturan mengenakan burqa akan mewakili hilangnya hak-hak yang telah diperoleh selama 20 tahun. Terutama hak untuk bekerja, belajar, bergerak, dan bahkan hidup dalam damai. Mereka khawatir, hak-hak tersebut tidak akan pernah didapatkan kembali ketika Taliban berkuasa lagi.

Setelah AS menginvasi Afghanistam pada 2001, pembatasan terhadap perempuan mulai dihapuskan. Bahkan ketika perang berkecamuk, komitmen lokal untuk meningkatkan hak-hak perempuan, yang didukung oleh kelompok dan donor internasional, mengarah pada penciptaan perlindungan hukum baru.

Pada 2009, undang-undang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan mengkriminalisasi pemerkosaan, pemukulan, dan pernikahan paksa serta melarang perempuan atau anak perempuan untuk bekerja atau belajar sebagai tindakan ilegal.

Baca juga : Sisa Jasad Manusia Ditemukan di Roda Pesawat AS dari Kabul

Kali ini, Taliban berjanji untuk membentuk pemerintahan Islam inklusif di Afghanistan, meskipun belum diketahui secara jelas sistem pemerintahan apa yang akan diambil ke depannya dan apakah kepemimpinan baru akan melibatkan perempuan. Anggota parlemen Afghanistan, Farzana Kochai, mengatakan, dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  

"Belum ada pengumuman yang jelas tentang bentuk pemerintahan di masa depan, apakah kita memiliki parlemen di pemerintahan masa depan atau tidak?," ujar Kochai.

Kochai juga khawatir tentang kebebasan masa depannya sebagai seorang wanita yang berkarir dalam politik. "Ini adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan bagi saya. Setiap wanita memikirkan hal ini. Kami hanya mencoba untuk mendapatkan petunjuk apakah wanita akan diizinkan bekerja dan menduduki pekerjaan atau tidak?," kata Kochai.

Juru bicara Taliban Suhail Shaheen pada Senin (16/8) mengatakan, Taliban berjanji di bawah mereka akan mengizinkan anak perempuan untuk bersekolah. "Sekolah akan terbuka dan anak perempuan akan pergi ke sekolah, sebagai guru, sebagai siswa," kata Shaheen.

Namun ada ketidakpercayaan mendalam terhadap militan Taliban, yang menyebabkan kesengsaraan di bawah pemerintahan mereka terdahulu.

Pada Juli, Komisi Hak Asasi Manusia Independen Afghanistan mengatakan di daerah-daerah yang dikendalikan oleh Taliban, perempuan telah diperintahkan untuk tidak menghadiri layanan kesehatan tanpa wali laki-laki. Selain itu, mereka melarang televisi, serta guru dan siswa diperintahkan untuk memakai sorban dan menumbuhkan janggut.

Baca juga : Biden: AS Takkan Mengulangi Kesalahan di Afghanistan

Komisi itu mengatakan, cendekiawan agama, pejabat pemerintah, jurnalis, pembela hak asasi manusia dan perempuan telah menjadi korban pembunuhan yang ditargetkan.  Salah satunya adalah Mina Khairi, seorang pria berusia 23 tahun yang tewas dalam sebuah bom mobil pada Juni.  Ayahnya, Mohammad Harif Khairi, juga kehilangan istri dan putrinya dalam ledakan itu. Mina Khairi itu telah menerima ancaman pembunuhan selama berbulan-bulan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement