Sabtu 30 Oct 2021 20:40 WIB

Pakar Militer: Junta Myanmar Kini tak Berdaya

Tekanan internasional dan hancurnya ekonomi bisa membuat junta menyerah.

Panglima Junta Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten (24/4/2021). Kedatangan Jenderal Min Aung Hlaing untuk menghadiri KTT ASEAN 2021di Sekretariat ASEAN, Jakarta.
Foto:

Menurut Ginting, unsur deklaratif merupakan pengakuan dari negara lain. Hal ini memperkuat terbentuknya sebuah negara.

Pengakuan dari negara lain juga terbagi menjadi dua. Pertama, jelasnya, pengakuan de facto. Sebuah pengakuan berdasarkan kenyataan yang ada atau dakta yang sungguh-sungguh nyata tentang berdirinya suatu negara.

Pengakuan de facto juga tergolong menjadi dua, yakni: pengakuan de facto yang bersifat tetap, artinya pengakuan dari negara lain terhadap suatu negara yang hanya bisa menimbulkan hubungan di bidang perdagangan dan ekonomi.

Selain itu, pengakuan de facto bersifat sementara, artinya pengakuan dari negara lain tanpa melihat perkembangan negara tersebut. Jika negara itu hancur, maka negara lain akan menarik pengakuannya.

Kedua, pengakuan de jure yakni sebuah pengakuan berdasarkan pernyataan resmi menurut hukum internasional. Pengakuan de jure terbagi menjadi: pengakuan de jure bersifat tetap, yang berarti pengakuan dari negara lain yang berlaku untuk selamanya karena kenyataan memperlihatkan adanya pemerintahan yang stabil.

Selain itu, pengakuan de jure bersifat sementara, yang artinya adalah terjadinya hubungan antarnegara yang mengakui dan diakui dalam hubungan ekonomi, dagang, serta diplomatik. Negara yang mengakui berhak mempunyai konsulat atau kedutaan di negara yang diakui tersebut.

"Nah, dalam kasus Myanmar ini, kini anggota perhimpunan ASEAN tidak lagi mengakui pemerintahan hasil kudeta militer," jelas Ginting. 

ASEAN memberikan keputusan tegas, mengecualikan pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing dari KTT regional tahunan, pekan terakhir Oktober 2021 ini. Namun ASEAN juga belum mengakui pemerintah bayangan, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG).

Sejak militer mengambil alih kekuasaan dari pemerintah terpilih Myanmar dalam kudeta 1 Februari 2021, jelas Ginting, seluruh dokumen resmi ASEAN tidak lagi menggunakan kalimat “we the ministers…” (kami, para menteri) tetapi memakai istilah “the meeting…” (pertemuan).

"Dari situ terang benderang bahwa tidak ada bentuk pengakuan formal terhadap status kehadiran para Menteri (Myanmar) dalam forum-forum ASEAN. Bahkan hasil komunike ASEAN dalam paragraf 93 komunike yang disahkan baru-baru ini, dijelaskan secara khusus tentang perkembangan krisis Myanmar yang telah mengundang keprihatinan dunia karena laporan korban jiwa dan kekerasan."

Dalam hal ini, ASEAN mencatat kemajuan yang berhasil dicapai dalam AMM kali ini yaitu komitmen dan penerimaan Myanmar terhadap pelaksanaan Konsensus Lima Poin yang telah disepakati para pemimpin ASEAN guna membantu penyelesaian krisis di negara itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement