Selasa 09 Nov 2021 20:33 WIB

Derita Petani Palestina, Punya Tanah, Tapi Dijaga Israel

Petani di Desa Qaffin hanya diizinkan mengunjungi kebunnya tiga kali dalam sepekan.

Rep: Kamran Dikarma/Rizki Jarayama/ Red: Teguh Firmansyah
Para petani Palestina mengendarai truk bermuatan terong dekat kota Tepi Barat Jericho di Lembah Jordan, Selasa, 30 Juni 2020. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampaknya bertekad untuk melaksanakan janjinya untuk mulai mencaplok bagian-bagian Tepi Barat yang diduduki, mungkin secepat Rabu.
Foto:

HaMoked, sebuah kelompok hak asasi Israel yang membantu warga Palestina memperoleh izin akses mengatakan, kondisi para petani Palestina kian memburuk. Berdasarkan data yang mereka peroleh dari militer, 73 persen dari pengajuan izin akes yang dikirim warga Palestina, ditolak tahun 2020 lalu. Angka itu meningkat tajam jika dibandingkan 2014, yakni 29 persen.

Pada 2014, Israel berhenti memberi izin kepada kerabat para petani Palestina, kecuali mereka terdaftar sebagai pekerja pertanian di lahan yang lebih besar. Pada 2017, militer Israel mulai membagi kepemilikan yang lebih besar di antara anggota keluarga besar warga Palestina.

Lahan, apa pun yang lebih kecil dari 330 meter persegi, tidak dilanjutkan secara pertanian. Pemilik, yang disebut “petak kecil” ditolak izinnya. “Tidak ada pembenaran keamanan. Mereka telah memutuskan bahwa Anda memiliki sebidang tanah yang menurut mereka terlalu kecil untuk ditanami,” kata Direktur HaMoked Jessica Montell di hadapan Mahkamah Agung Israel.

Montell menjelaskan, sementara peraturan lain, seperti berapa banyak tangan yang dibutuhkan untuk merawat berbagai tanaman, disandarkan pada perhitungan rumit. “Mereka mengatakan, jika Anda menanam mentimun, Anda bisa mendapatkan sekian jumlah pembantu per dunam,” ucapnya.

Sementara militer Israel menampik bahwa pembatasan yang mereka terapkan bertujuan menyulitkan kehidupan warga Palestina. Sebaliknya, mereka mengklaim tindakan semacam itu diterapkan untuk memastikan tatanan kehidupan yang lancar bagi semua pihak.

Kemudian terkait tembok pembatas, Israel mengatakan hal itu tidak dimaksudkan untuk menggambarkan perbatasan permanen. “Pagar itu dibangun hanya untuk kebutuhan keamanan saja,” kata Netzah Mashiah, pensiunan kolonel Israel yang mengawasi pembangunan tembok pembatas di Tepi Barat hingga 2008.

Menurut dia, saat proses pembangunan berlangsung, tembok pembatas itu mungkin bakal menjadi perbatasan di masa depan. “Tapi itu bukan tujuan pagar ini,” ujarnya.

Pengenalan wajah

Penindasan Israel terhadap bangsa Palestina tidak hanya soal lahan pertanian. Israel juga mengambil privasi rakyat Palestina melalui kamera pengenalan wajah.

Israel telah mengerahkan program pengenalan wajah di Tepi Barat yang diduduki selama dua tahun terakhir. Israel menggunakan perangkat seluler untuk mengambil foto wajah orang Palestina, kemudian dicocokkan dengan basis data.

Program pengenalan wajah itu disebut sebagai Blue Wolf. Seorang mantan perwira Israel menyebut program itu sebagai "Facebook untuk Palestina". Aplikasi akan berkedip dan memunculkan warna yang berbeda, untuk menunjukkan apakah seseorang yang telah difoto harus ditahan.

Tahun lalu, Tentara Israel berpartisipasi dalam sebuah kompetisi siapa yang dapat menangkap jumlah foto wajah warga Palestina terbanyak. Mereka mengambil foto anak-anak dan orang tua, dengan jumlah total mencapai ribuan.

Beberapa warga Palestina, terutama wanita yang lebih tua, dilaporkan menolak untuk difoto. Tetapi tentara Israel akan memaksa mereka untuk mematuhinya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement