Rabu 17 Nov 2021 14:01 WIB

Perempuan Ikut Angkat Senjata Lawan Rezim Militer Myanmar

Partisipasi perempuan dalam gerakan perlawanan di Myanmar bukan sesuatu yang baru

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
Demonstran wanita berlatih sling shot selama protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar,  Kamis (18/3). Partisipasi perempuan dalam gerakan perlawanan di Myanmar bukan sesuatu yang baru.
Foto:

"Masyarakat membingkai tugas-tugas tertentu pada laki-laki dan perempuan. Kami mendobrak stereotip ini dan untuk menunjukkan tangan yang mengayunkan ayunan bayi juga bisa menjadi bagian dari revolusi bersenjata," kata Amara yang juga tidak menggunakan nama aslinya.

Sebelum kudeta Amara tidak pernah membayangkan akan menjadi pejuang revolusi. Namun setelah menyaksikan pembunuhan dan kekerasan di sekitarnya, ia terdorong mengambil langkah yang diperlukan.

"Saya angkat senjata ketika saya tidak memiliki pilihan lain. Saya gelisah mengenai bahaya apa yang akan menimpa saya. Di sisi lain, kami bertekad untuk memenangkan ini. Kami mempersiapkan mental kami, kami tidak merasa normal, tapi kami harus mengendalikan pikiran kami," katanya.

Myaung Women Warriors salah satu dari ratusan kelompok pemberontak bersenjata di Myanmar. Kelompok-kelompok yang dikenal sebagai Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) muncul di seluruh penjuru Myanmar sekitar bulan April. "Karena seluruh negeri dalam revolusi, kami memainkan peran kami dan juga mempromosikan peran perempuan," kata Amara.

Pada 29 Oktober lalu mereka ambil bagian dalam koalisi PDF membakar kantor polisi. Amara mengatakan aksi itu dilakukan untuk mencegah tentara dan polisi menggunakan kantor-kantor tersebut sebagai markas sebelum menyerang desa setempat.

Foto operasi mereka tersebar di media sosial dan menarik banyak perhatian. Amara mengatakan melihat besarnya dukungan masyarakat memberi kekuatan pada para perempuan tapi mereka tetap fokus pada misi mereka.

"Kami pejuang perempuan. Kami siap untuk bertempur di mana pun. Pejuang itu berani, loyal dan tegas, kami siap berjuang untuk rakyat," tambahnya.

Kabya May bergabung dua bulan lalu sebelum Myaung Women Warriors terbentuk. Seperti kebanyakan anak muda di seluruh Myanmar, mantan guru itu memutuskan angkat senjata setelah merasakan kesulitan, kecemasan fisik, dan masa depan yang suram.

"Sejak kudeta tidak akan yang berjalan baik. Anak muda merasa kami membuang-buang waktu kami. Kami tidak bisa jalan-jalan dengan bebas. Ketika anjing militer datang, rakyat takut, saya tidak ingin melihat hal itu lagi," jelasnya. 

Anak tertua dari lima bersaudara ini lulus dari sekolah guru pada awal 2020. Ia berharap gaji bulanannya dapat membantu ayahnya pensiun dari pekerjaan harian menyiram pestisida di pertanian setempat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement