Pada September, PBB menolak permintaan Taliban agar utusannya Suhail Shaheen berpidato di Majelis Umum. Pengakuan ini sangat penting bagi negara karena keruntuhan ekonomi dan krisis kemanusiaan terus berlanjut. Analis mengatakan legitimasi global adalah satu-satunya titik pengaruh yang dimiliki komunitas internasional atas cara Taliban memerintah negara itu.
Berikutnya, permasalahan ada pada isu sekolah dan universitas. Ketika Taliban mengambil alih, sekolah ditutup untuk anak laki-laki dan perempuan. Pada September, Taliban mengizinkan anak laki-laki pergi ke sekolah dari kelas 6 hingga 12 dan guru laki-laki untuk mengajar.
Namun, anak perempuan tidak diizinkan pergi ke sekolah karena Taliban mengatakan ‘lingkungan yang aman’ perlu dibangun sebelum mereka dapat kembali. Keputusan Taliban itu menuai kritik tajam dari masyarakat internasional karena membatasi pendidikan untuk anak perempuan. Pekan lalu, pemerintah yang dikendalikan Taliban mengatakan 75 persen anak perempuan telah melanjutkan sekolah di seluruh negeri.
Isu terakhir yakni penutupan media. Sebanyak 257 outlet media telah ditutup termasuk media cetak, radio, dan televisi, menurut kelompok advokasi media di Afghanistan.
Lebih dari 70 persen pekerja media Afghanistan kini menjadi pengangguran atau meninggalkan negara itu setelah Kabul jatuh ke tangan Taliban. Daftar prinsip Imarah Islam baru-baru ini untuk operasi media yang mencakup pelarangan semua drama, sinetron, dan acara hiburan yang menampilkan wanita telah menimbulkan kekhawatiran.
Arahan tersebut juga mencakup aturan presenter berita wanita harus mengenakan jilbab di layar. Wartawan Afghanistan dan aktivis hak telah mengutuk ‘pedoman agama’.