REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Ratusan warga Selandia Baru yang memprotes kebijakan wajib vaksin dan peraturan pembatasan sosial Covid-19 lainnya berkumpul di depan gedung parlemen. Mereka menghalangi jalan dengan truk dan karavan seperti aksi yang dilakukan demonstran di Kanada.
Pengunjuk rasa "konvoi untuk kebebasan" tiba dari berbagai penjuru Selandia Baru. Mereka berkumpul di depan gedung parlemen di Wellington yang dikenal Beehive. Aksi ini digelar sebelum pidato pertama Perdana Menteri Jacinda Ardern pada tahun ini.
Sebagian besar pengunjuk rasa tidak memakai masker, mereka membawa papan protes yang mendesak "kebebasan" dan berjanji berkemah di luar gedung parlemen sampai peraturan Covid-19 dicabut. Unjuk rasa yang mungkin digelar beberapa hari terinspirasi blokade truk dilakukan di Ottawa, Kanada.
Ardern tidak menemui para pengunjuk rasa dan mengatakan pada wartawan para demonstran tidak mencerminkan pandangan mayoritas warga Selandia Baru.
"Saya pikir akan salah dalam cara apa mengkarakteristikan apa yang kami lihat di luar mencerminkan mayoritas," kata Ardern dalam konferensi pers, Rabu (10/2).
"Mayoritas masyarakat Selandia Baru telah melakukan semua yang bisa dilakukan untuk menjaga satu sama lain," tambahnya.
Dalam pidato parlemen pertamanya pada tahun ini, Ardern mengatakan pandemi Covid-19 tidak akan berakhir dengan varian Omicron. Di hadapan anggota parlemen ini mengatakan Selandia Baru akan mempersiapkan diri menghadapi lebih banyak varian pada tahun ini.
Selama pandemi yang berlangsung selama dua tahun pemerintahan Ardern menerapkan salah peraturan pembatasan sosial Covid-19 paling ketat. Selandia Baru awalnya ingin menghilangkan virus korona dari negara itu.
Kebijakan Negeri Kiwi tersebut membantu menekan angka infeksi dan kematian tetap rendah. Negara yang memiliki lima juta populasi ini mengkonfirmasi 18 ribu kasus infeksi dan 53 kematian.
Namun peraturan pemerintah juga mendorong banyak warga marah karena isolasi yang tiada henti. Puluhan ribu ekspatriat Selandia Baru tidak bisa pulang karena perbatasan negara itu masih ditutup. Kebijakan ini juga merugikan bisnis yang tergantung pada turis internasional.
Jajak pendapat 1News Kantar yang dirilis bulan lalu menemukan angka dukungan pada Ardern merosot. Publik menilai pemerintahnya terlambat dalam menggelar vaksinasi dan mencoba peraturan pembatasan sosial.
Pekan lalu pemerintah Ardern mengatakan negara itu akan membuka kembali perbatasannya pada seluruh dunia hanya pada bulan Oktober.