REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG - Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un kembali mengingatkan kepada dunia tentang kekuatan nuklir negaranya. Kim mengatakan, Pyongyang dapat melakukan langkah pendahuluan menggunakan persenjataan nuklirnya untuk melawan musuh.
Media pemerintah Korut, KCNA melaporkan bahwa Kim mengatakan kepada para perwira militer bahwa untuk mempertahankan keunggulan absolut dari angkatan bersenjata Korut, negara itu harus dapat melampaui dan benar -benar membuat frustasi semua upaya berbahaya dan mengancam jika perlu.
"Pyongyang harus terus membangun persenjataannya sehingga dapat memiliki otot militer yang luar biasa bahwa tidak ada kekuatan di dunia yang dapat memprovokasi," kata Kim seperti dikutip laman TRT World, Sabtu (30/4/2022).
Dia menyebutnya garis hidup yang menjamin keamanan negara Korut. Komentar pemimpin itu mengikuti komentar yang sama di parade militer pada Senin, ketika dia mengatakan dia bisa menggunakan gudang atomnya jika kepentingan fundamental Korut terancam.
Kim membuat komentar terbarunya di sebuah pertemuan dengan Top Brass untuk memuji pekerjaan mereka di parade Senin. Parade Senin pekan ini untuk memperingati peringatan 90 tahun angkatan bersenjata negara itu dan memamerkan rudal balistik antarbenua yang paling kuat.
Meskipun sanksi menggigit, Korut telah menggandakan drive modernisasi militer dan menguji banyak senjata yang dilarang tahun ini sambil mengabaikan tawaran pembicaraan AS. Bulan lalu Pyongyang menguji ICBM dengan rentang penuh untuk pertama kalinya sejak 2017, dan citra satelit telah menunjukkan tanda-tanda aktivitas di lokasi pengujian nuklir.
Serangkaian tes senjata datang ketika Korea Selatan bersiap dengan presiden barunya, Yoon Suk-Yeol, yang mengambil pendekatan yang lebih keras ke Pyongyang. Analis mengatakan peringatan Kim menunjukkan bahwa ia tidak terbuka untuk dialog dengan pemerintah baru Seoul.
"Pernyataan Kim tidak menunjukkan minat untuk terlibat dengan pemerintahan Yoon yang masuk di Korea Selatan atau memulai kembali pembicaraan denuklirisasi dengan Amerika Serikat," kata Leif-Eric Easley, seorang profesor studi internasional di Universitas Ewha di Seoul.