Sabtu 16 Jul 2022 17:55 WIB

Kudeta Turki Hancurkan Mimpi Ribuan Taruna Militer

Upaya kudeta 2016 di Turki mengubah kehidupan banyak taruna militer.

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Upaya kudeta 2016 di Turki mengubah kehidupan banyak taruna militer
Foto: AP/Turkish Defense Ministry
Upaya kudeta 2016 di Turki mengubah kehidupan banyak taruna militer

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Upaya kudeta 2016 di Turki mengubah kehidupan banyak taruna militer yang sama sekali tidak memahami latar belakang peristiwa itu. Beberapa taruna yang kini terpaksa harus tinggal di Jerman karena ketakutan jadi sasaran Pemerintah Turki. Mereka kini menceritakan tentang pengalamannya atas peristiwa kelam 6 tahun lalu.

Jumat (15/7/2022), tepat enam tahun yang lalu terjadi percobaan kudeta di Turki. Pada 15 Juli 2016, sebagian besar taruna militer menduduki Jembatan Bosphorus di Istanbul. Tapi di sisi lain sebagian taruna digerakkan. Ribuan orang berkumpul di sana pada saat yang bersamaan, lalu tiba-tiba ada tembakan. Sebanyak 34 orang kehilangan nyawa.

Latar belakang apa yang terjadi malam itu masih belum jelas. Sejauh ini belum ada penyelidikan internasional yang independen. Hanya ada versi pemerintah, yang menimbulkan banyak pertanyaan. Namun, jelas bahwa taruna khususnya harus membayar mahal.

Setelah malam itu, 16.409 dari mereka diberhentikan dengan dekrit, surat perintah penangkapan juga dikeluarkan untuk 6.835 taruna, dan 352 orang di antaranya bahkan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Presiden Recep Tayyip Erdogan hingga kini masih menuduh mereka anggota organisasi terlarang, tuduhan yang ditujukan kepada Gerakan Gulen. Presiden Erdogan menuduh kelompok yang dipimpin oleh Fethullah Gülen, yang tinggal di pengasingan di AS , berada di balik upaya kudeta dan sejak itu mengklasifikasikannya sebagai organisasi terlarang.

Taha Ihsan Cetin salah seorang taruna militer yang eksodus ke Jerman sejak 2019 dan sebelumnya merupakan mahasiswa di Angkatan Udara di Yalova dekat Istanbul malam itu. Dia mengatakan bahwa ada banyak hal yang terjadi di markas mereka hari itu.

“Panglima AU saat itu, Abidin Nal, mengunjungi pangkalan kami. Latihan itu dibatalkan hari itu," kata Cetin. "Kemudian kami mengetahui bahwa Nal memerintahkan ini agar kami tidak lelah," kata pemuda berusia 28 tahun itu seperti dikutip FR.de, Jumat (15/7).

Menjelang malam para taruna TNI AU dikabarkan telah menerima perintah untuk berkumpul di lapangan untuk melakukan pelatihan. “Senjata G3 dibagikan, tetapi tanpa amunisi,” kata Cetin.

“Mereka yang namanya disebut harus naik bus dan dibawa pergi. Saya beruntung karena nama saya tidak disebut pada awalnya," kata Cetin.

Namun, Dia kemudian harus naik salah satu bus. “Masing-masing dari kami mendapat tiga peluru untuk senjata kami.” Sebelum busnya pergi, supervisornya menahan laju bus dan meminta agar beberapa siswa termasuk Cetin agar tetap tinggal di pangkalan malam itu.

"Rupanya Dia mulai curiga," kata Cetin.

Cetin mengatakan bahwa malam itu ia menelepon teman-temannya yang dibawa ke jembatan. "Mereka memberitahu kami bahwa mereka terlibat kekacauan dengan massa," kata Cetin.

Akibatnya, dua taruna militer meninggal di sekitar jembatan. Termasuk sahabatnya yang jadi korban massa. Foto-foto Murat Tekin dan taruna lainnya yang berlumuran darah beredar di seluruh dunia pada saat itu.

Setelah kejadian, Taha Cetin dan semua taruna lainnya tidak boleh meninggalkan markas mereka di Yalova selama beberapa hari ke depan. Mereka diinterogasi selama sepuluh hari dan kemudian dibebaskan. Cetin lantas melanjutkan kuliah di bidang bisnis.

Namun, pada 2018 Cetin kemudian ditangkap dan didakwa dengan pelanggaran teroris dan percobaan kudeta. Dia dibawa ke Penjara Silivri dan dibebaskan tujuh bulan kemudian. Setelah bebas Dia memutuskan untuk pergi dari Turki.

"Saya takut karena mereka juga bisa menghukum saya dengan hukuman penjara seumur hidup," kata pria berusia 28 tahun itu.

Kini Cetin tinggal di sebuah rumah pengungsi di North Rhine-Westphalia, Jerman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement