Senin 01 Aug 2022 11:16 WIB

Pertemuan Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir Digelar

Perang Rusia di Ukraina memicu kembali ketakutan konfrontasi nuklir.

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Sisa senjata nuklir Ukraina di Museum (ilustrasi)
Foto:

Saat menggelar invasi ke Ukraina pada Februari lalu Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan setiap upaya intervensi akan menimbulkan "konsekuensi yang tidak pernah dilihat sebelumnya". Ia juga menekankan negara "salah satu kekuatan nuklir paling kuat."

Beberapa hari kemudian Putin memerintahkan pasukan nuklir Rusia untuk meningkatkan kewaspadaan ke tingkat paling tinggi. Langkah yang Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres "mengerikan."

"Prospek konflik nuklir yang sebelumnya tak terbayangkan kini kembali ke ranah kemungkinan," katanya.

Mantan peneliti pelucutan senjata PBB Patricia Lewis mengatakan peristiwa di Ukraina menciptakan pilihan sulit dalam pertemuan nuklir. "Di satu sisi, demi mendukung perjanjian dan yang mereka dibela, pemerintah-pemerintah harus mengatasi ancaman dan perilaku Rusia," kata peneliti think tank Chatham House itu.

"Di sisi lain, juga beresiko memecah belah negara anggota perjanjian," katanya.

Perang Ukraina juga menimbulkan dinamika yang tidak nyaman lainnya. Terutama bagi negara-negara yang tidak memiliki nuklir. Ukraina pernah memiliki senjata nuklir tapi kemudian menyerahkannya ke Uni Soviet.

Peneliti dari lembaga think tank Brookings Institution Michael O’Hanlon mengatakan peserta pertemuan dapat menekankan strategi keamanan yang lain atau menekankan kerugian dan bahaya memiliki senjata nuklir. "Tapi penting untuk tidak terlalu berkhotbah," kata O’Hanlon.

"Gagasannya kami dapat berbicara langsung ke negara lain dan mengatakan 'kamu lebih baik tanpa bom' merupakan argumen yang sedikit keras terutama dilakukan sekarang ini," tambahnya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement