Peneliti di School of Slavonic and East European Studies University College London Ella Rossman mengaitkan peningkatan jumlah perempuan dalam protes dengan ketakutan beberapa laki-laki akan wajib militer dan gerakan feminis Rusia yang berkembang. Sosok yang memetakan aktivisme feminis Rusia ini menghitung 45 kelompok feminis Rusia pada 2021, naik dari sekitar 30 pada 2019.
Tapi, gerakan perempuan yang meningkat ini pun sejalan dengan risiko yang harus mereka hadapi. Para pengunjuk rasa perempuan di Rusia sangat rentan terhadap ancaman kekerasan seksual.
Pengacara OVD-Info Daria Korolenko mendokumentasikan sekitar 200 kasus perempuan yang diancam dengan kekerasan seksual, dilarang makan atau tidur atau mengalami perlakuan buruk lainnya saat ditahan karena protes antara 21 dan 26 September. Reuters belum menerima jawaban atas pertanyaan tentang data penganiayaan terhadap perempuan yang dikirim ke Kementerian Dalam Negeri Rusia dan departemen Moskow pada pekan lalu.
Salah satu yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan adalah Elizaveta berusia 27 tahun. Dia menerima hukuman penjara 12 hari setelah memprotes pada Februari dan menghabiskan sembilan hari itu di kantor polisi dengan tidur di lantai kosong dalam sel gelap. Tidak ada air panas dan makanan hanya dibawa oleh teman.
Tapi hukuman itu tidak membuat Elizaveta jera. Dia memprotes lagi pada 22 September dan kebanyakan dari mereka yang bersamanya hari itu adalah perempuan.
Perempuan tidak hanya memprotes perang di jalanan. Tak lama setelah konflik dimulai Rossman membentuk gerakan dengan aktivis lai, Perlawanan Anti-Perang Feminis. Anggotanya memposting tentang perang di media sosial dan mendistribusikan surat kabar di Rusia, juga menulis slogan anti-perang pada uang kertas rubel dan label harga di toko-toko.