REPUBLIKA.CO.ID, RIO DE JANEIRO -- "Tidak ada amnesti! Tidak ada amnesti! Tidak ada amnesti!”
Nyanyian itu bergema di dinding aula yang penuh sesak di Fakultas Hukum University of Sao Paulo pada Senin (9/1/2023) sore. Dalam beberapa jam, itu adalah seruan untuk ribuan orang Brasil yang mengalir ke jalan-jalan Rio de Janeiro dan Sao Paulo, ditulis di poster dan spanduk protes.
Kata-kata itu adalah tuntutan pembalasan terhadap para pendukung mantan presiden Jair Bolsonaro yang menyerbu ibu kota Brasil pada Ahad (8/1/2023). "Orang-orang ini perlu dihukum, orang yang memerintahkannya perlu dihukum, mereka yang memberikan uang untuk itu perlu dihukum,” kata terapis berusia 61 tahun Bety Amin di boulevard utama Sao Paulo.
"Mereka tidak mewakili Brasil. Kami mewakili Brasil," ujar sosok yang mengenakan baju dengan kata 'Demokrasi' terpampang di belakangnya.
Profesor ilmu politik University of Brasilia, Luis Felipe Miguel menjelaskan, tuntutan yang didorong masyarakat dalam kolom berjudul 'No Amnesty' yang diterbitkan Senin malam. Dia mengatakan, menolak untuk menjatuhkan hukuman dapat menghindari ketegangan saat ini, tetapi melanggengkan ketidakstabilan.
"Itulah pelajaran yang seharusnya kita pelajari dari akhir kediktatoran militer, ketika Brasil memilih untuk tidak menghukum para pembunuh dan penyiksa rezim," ujarnya.
Tuntutan itu pun mendapatkan tanggapan pada hari yang sama. Polisi Brasil menangkap sekitar 1.500 perusuh. Beberapa tertangkap basah merusak gedung Kongres Brasil, Mahkamah Agung, dan istana kepresidenan.
Sebagian besar ditahan keesokan paginya di sebuah perkemahan di Brasilia. Polisi Federal menyatakan, hampir 600 orang tua, sakit, tunawisma atau ibu dengan anak-anak telah dibebaskan usai diinterogasi dan pemeriksaan ponsel pada Selasa (10/1/2023).
Kantor media pemerintah sebelumnya mengatakan, pemerintah berencana mendakwa setidaknya 1.000 orang. Hingga Selasa sore, 527 orang telah dipindahkan ke pusat penahanan atau penjara.