REPUBLIKA.CO.ID, WAKAYAMA -- Warga Jepang terkejut dengan upaya serangan dan longgarnya keamanan terhadap Perdana Menteri Fumio Kishida ketika sedang berkampanye di tengah masyarakat. Upaya ini berlangsung kurang dari setahun setelah kematian mantan perdana menteri Shinzo Abe yang ditembak saat berkampanye jelang pemilihan parlemen.
Seorang nelayan, Tsutomu Konishi menyaksikan Kishida di acara kampanye di pelabuhan, ketika sebuah benda terbang di atas kepala dan mendarat di dekat perdana menteri. Konishi mengatakan, seorang petugas keamanan menutupi benda itu dengan tas antipeluru. Para nelayan kemudian mengerumuni penyerang.
“Saya tidak pernah menyangka kejahatan seperti ini akan terjadi di kampung halaman saya, yang merupakan daerah penangkapan ikan yang agak kecil,” kata Konishi (41 tahun).
Perdana menteri tidak terluka. Tapi Konishi memikirkan apa yang harus dilakukan negara untuk melindungi tokoh masyarakat dengan lebih baik.
“Pada saat Perdana Menteri Jepang sedang berkunjung, mungkin kami membutuhkan detektor logam,” kata Konishi.
Nelayan lainnya Masaki Nishide (55 tahun) dari Saikazaki, mengatakan, sebagian besar orang yang hadir dalam acara kampanye adalah penduduk dan pendukung kandidat lokal. Dia mengatakan, pelaku yang merupakan pemuda dengan ransel abu-abu perak itu tampak menonjol di antara kerumunan.
“Semua orang di sini berpakaian seperti saya, dan tidak ada yang membawa ransel, hanya dia,” kata Nishide, yang mengenakan pakaian olahraga dan sepatu bot karet merah.
“Jika saya bertanggung jawab atas keamanan, saya akan meminta cek tas," kata Nishide menambahkan.
Setelah serangan yang gagal terhadap perdana menteri, salah satu nelayan mencengkeram leher tersangka dari belakang. Sementara nelayan lain mendorong kepalanya ke bawah, dan Konishi mengunci kakinya. Mereka menahan pria itu ketika petugas polisi menariknya ke tanah.
Adegan kacau itu mengingatkan pada pembunuhan mantan perdana menteri Shinzo Abe. Insiden itu mendorong polisi untuk memperketat tindakan perlindungan setelah penyelidikan menemukan celah dalam keamanan Abe. Abe dibunuh dengan senjata rakitan selama pidato kampanye. Tersangka Tetsuya Yamagami telah didakwa melakukan pembunuhan dan beberapa kejahatan lainnya, termasuk melanggar undang-undang pengendalian senjata.
Pihak berwenang mengatakan Yamagami memberi tahu penyelidik bahwa dia membunuh Abe karena keterkaitan mantan perdana menteri itu dengan kelompok agama yang dibenci Yamagami. Dalam pernyataan dan unggahan di media sosial, Yamagami mengatakan, ibunya memberikan sumbangan dalam jumlah sangat besar ke Gereja Unifikasi, sehingga membuat keluarganya bangkrut dan menghancurkan hidupnya.
Kejahatan kekerasan jarang terjadi di Jepang. Negara ini mempunyai undang-undang kontrol senjata yang ketat, dan hanya memiliki sedikit kejahatan terkait senjata setiap tahunnya. Sebagian besar kasus terkait dengan geng, meskipun dalam beberapa tahun terakhir ada kekhawatiran yang berkembang tentang senjata rakitan dan bahan peledak. Ada juga beberapa kasus profil tinggi tentang penusukan acak di kereta bawah tanah dan serangan pembakaran.
Dibandingkan dengan pemilu di Amerika Serikat, penonton kampanye politik di Jepang sering diizinkan berada cukup dekat dengan pejabat tinggi. Pada acara kampanye untuk Kishida, penonton barisan depan berada dalam jarak yang sangat dekat.
Hanya satu orang, seorang petugas polisi, terluka, lengannya terpotong oleh pecahan perangkat, yang tidak meledak sepenuhnya. Polisi menangkap Ryuji Kimura yang berusia 24 tahun karena dicurigai melemparkan bahan peledak yang dimasukkan ke dalam tabung logam ke arah Kishida. Polisi mengirim tim khusus bahan peledak ke rumah tersangka di Prefektur Hyogo untuk mencari bukti pembuatan bom.
Jepang menghadapi pemilihan lokal nasional bulan ini, dan menjadi tuan rumah serangkaian pertemuan pejabat tinggi anggota Kelompok Tujuh (G7) menjelang KTT para pemimpin negara pada 19-21 Mei di Hiroshima.
Pakar keamanan publik, Isao Itabashi, mengatakan kepada NHK TV bahwa serangan itu menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana penanganan kampanye pemilu. Menjaga politisi top dalam kampanye secara logistik sulit, dan menyeimbangkan keamanan yang ketat dengan pemilihan yang bebas juga sulit.
Kiyotaka Hamada, seorang anggota senior dari asosiasi nelayan setempat, mengatakan, dia merasakan sesuatu mengenai bahunya tepat ketika dia mendengar ledakan dan berlari dari tempat kejadian. Polisi mengambil jaketnya untuk melihat apakah dia terkena pecahan bahan peledak.
"Saya hanya ingin bertanya kepada tersangka mengapa dia harus datang ke sini untuk membuat onar," kata Hamada.
Bagi Hamada dan nelayan lainnya, ada kekhawatiran tentang hilangnya pendapatan, karena fasilitas pelabuhan ditutup untuk penyelidikan. “Kami berusaha keras di seluruh desa untuk menyambut perdana menteri di sini pada kunjungan pertamanya. Sekarang kita bahkan tidak bisa pergi ke laut," ujarnya.