REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Ibu kota Sudan, Khartoum, mulai relatif tenang pada hari kedua gencatan senjata yang disepakati selama satu pekan. Hal itu menaikkan harapan bahwa perang berhenti sejenak, tapi saksi mata masih melaporkan adanya suara tembakan.
Setelah berperang selama lima pekan, Angkatan Bersenjata dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pada Sabtu (20/5/2023) sepakat menggelar gencatan senjata selama tujuh hari mulai Senin (22/5/2023) pukul 21.45 waktu setempat. Tujuannya agar bantuan kemanusiaan dapat masuk ke Sudan.
Gencatan senjata menaikkan harapan soal penghentian sejenak perang yang telah memaksa 1,1 juta orang mengungsi itu. Perang ini juga mengancam stabilitas di kawasan yang rentan. Lebih dari 250 ribu warga Sudan mengungsi ke negara-negara tetangga.
"Harapan kami gencatan senjata berhasil sehingga kami dapat kembali hidup normal, merasa aman, dan kembali bekerja," kata seorang warga Khartoum, Atef Salah El-Din, Selasa (23/5/2023).
Walaupun di gencatan senjata sebelumnya perang tetap berlangsung, ini pertama kalinya gencatan senjata diresmikan setelah negosiasi.
Kesepakatan gencatan senjata juga untuk pertama kalinya memasukan mekanisme pemantauan yang melibatkan angkatan darat dan RSF serta perwakilan dari Arab Saudi dan Amerika Serikat (AS). Dua pihak yang menengahi kesepakatan dalam perundingan di Jeddah.
Setelah gencatan senjata berlaku, RSF merilis pesan audio komandannya Mohamed Hamdan Dagalo yang dikenal Hemedti. Ia berterima kasih pada Arab Saudi dan AS, tapi mendorong anak buahnya meraih kemenangan.
"Kami tidak akan mundur sampai kami mengakhiri kudeta ini," katanya.
Kedua belah pihak saling menuduh satu sama lain mencoba merebut kekuasaan. Perwakilan PBB di Sudan memperingatkan tumbuhnya konflik "antar-etnis" di militer dan dampak perang ke negara-negara tetangga.
"Tumbuhnya konflik antaretnis berisiko menyebar dan memperpanjang (konflik), berimplikasi ke kawasan," kata Perwakilan PBB di Sudan Volker Perthers saat memberi pengarahan ke Dewan Keamanan PBB.