REPUBLIKA.CO.ID, NIAMEY -- Ketegangan antara rezim militer Niger dan blok regional Afrika Barat (ECOWAS) meningkat. ECOWAS telah memerintahkan pengerahan pasukan untuk memulihkan demokrasi di Niger.
ECOWAS mengatakan mereka memutuskan untuk mengerahkan "pasukan siaga" yang bertujuan untuk memulihkan ketertiban konstitusional di Niger. Setelah tenggat waktu Ahad lalu untuk mengembalikan kekuasaan ke Presiden Mohamed Bazoum berakhir.
Beberapa jam sebelumnya, dua pejabat Barat mengatakan junta Niger mengatakan kepada seorang diplomat tinggi AS, mereka akan membunuh Bazoum jika negara-negara tetangga mencoba melakukan intervensi militer untuk memulihkan kekuasaannya.
Tidak jelas kapan atau di mana pasukan ECOWAS akan dikerahkan, dan bagaimana laporan tentang ancaman terhadap Bazoum akan mempengaruhi keputusan blok beranggotakan 15 negara itu untuk melakukan intervensi.
Para pakar konflik mengatakan pasukan tersebut kemungkinan akan terdiri dari sekitar 5.000 tentara yang dipimpin Nigeria dan dapat siap dalam beberapa pekan. Setelah pertemuan ECOWAS, Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara mengatakan negaranya akan ikut serta dalam operasi militer tersebut, bersama dengan Nigeria dan Benin.
"Pantai Gading akan menyediakan satu batalion dan membuat perencanaan keuangan, kami bertekad untuk menempatkan Bazoum di posisinya. Tujuan kami adalah perdamaian dan stabilitas di sub-kawasan ini," kata Ouattara di televisi pemerintah, Jumat (12/8/2023).
Niger yang merupakan negara miskin berpenduduk sekitar 25 juta jiwa dianggap sebagai sekutu negara-negara Barat dalam menghadapi milisi bersenjata yang terkait dengan al-Qaida dan ISIS yang telah menghancurkan wilayah tersebut. Prancis dan Amerika Serikat memiliki lebih dari 2.500 personel militer di Niger dan bersama dengan mitra Eropa lainnya menggelontorkan ratusan juta dolar untuk mendukung militernya.
Junta yang dipimpin Jenderal Abdourahmane Tchiani mengklaim mereka dapat melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada pemerintah Bazoum dalam melindungi negara dari kekerasan milisi, dan telah mengeksploitasi sentimen anti-Prancis di antara penduduk untuk menopang dukungannya.
Warga Nigeria di ibukota, Niamey, mengatakan ECOWAS tidak berhubungan dengan kenyataan di lapangan dan seharusnya tidak campur tangan. "Ini adalah urusan kami, bukan urusan mereka. Mereka bahkan tidak tahu alasan mengapa kudeta terjadi di Niger," kata seorang warga Achirou Harouna Albassi. Ia menambahkan Bazoum tidak mematuhi kehendak rakyat.
Pada Jumat kemarin ratusan orang berbaris menuju pangkalan militer Prancis di Niamey sambil melambai-lambaikan bendera Rusia dan berteriak "Turunkan Prancis." Banyak dari mereka yang masih muda, termasuk anak-anak, meneriakkan Prancis harus pergi.
Uni Afrika juga menyatakan dukungan kuat terhadap keputusan ECOWAS dan meminta junta untuk "segera menghentikan eskalasi dengan organisasi regional." Uni Afrika juga mendesak Bazoum segera dibebaskan. Sebuah pertemuan Uni Afrika untuk membahas situasi di Niger diperkirakan akan berlangsung pada hari Senin.
Usai pertemuan pada Kamis (10/8/2023) malam Kementerian Luar Negeri Prancis mengatakan mereka mendukung "semua kesimpulan yang diambil." Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan negaranya menghargai "tekad ECOWAS untuk mengeksplorasi semua opsi untuk menyelesaikan krisis dengan damai" dan akan meminta pertanggungjawaban junta atas keselamatan dan keamanan Presiden Bazoum. Namun, ia tidak menjelaskan apakah AS mendukung pengerahan pasukan.
Tentara pemberontak yang menggulingkan Bazoum lebih dari dua pekan yang lalu dan mengukuhkan diri sebagai penguasa, tampak tertutup terhadap dialog dan menolak untuk membebaskan presiden. Seorang pejabat militer Barat yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan perwakilan dari junta memberitahu Wakil Menteri Luar Negeri AS Victoria Nuland mengenai ancaman terhadap nyawa Bazoum dalam kunjungannya ke negara itu pekan ini.
Seorang pejabat AS yang juga tidak bersedia disebutkan namanya mengkonfirmasi pernyataan tersebut.
"Ancaman untuk membunuh Bazoum sangat mengerikan," kata asisten profesor ilmu politik di Universitas Cincinnati Alexander Thurston.
Ia menambahkan sampai sekarang ada aturan tidak tertulis tentang bagaimana presiden yang digulingkan akan diperlakukan dan kekerasan terhadap Bazoum akan membangkitkan beberapa kudeta terburuk di masa lalu.
Human Rights Watch mengatakan mereka telah berbicara dengan Bazoum. Presiden itu mengatakan putranya yang berusia 20 tahun sakit dengan kondisi jantung yang serius dan tidak diizinkan menemui dokter. Ia mengatakan tidak memiliki listrik selama hampir 10 hari dan tidak diizinkan untuk bertemu keluarga, teman, atau membawa persediaan ke dalam rumah.
Tidak jelas apakah ancaman terhadap nyawa Bazoum akan mengubah keputusan ECOWAS untuk melakukan intervensi militer. Pengamat mengatakan hal itu mungkin akan memberi jeda intervensi militer, atau mendorong kedua belah pihak untuk berdialog, namun situasi ini telah memasuki wilayah yang belum dipetakan.
"Invasi ECOWAS untuk memulihkan ketertiban konstitusional di negara sebesar dan sebanyak populasi Niger belum pernah terjadi sebelumnya," kata profesor di Pusat Studi Strategis Afrika Nate Allen.
Niger memiliki tentara yang cukup besar dan terlatih dengan baik serta siap melawan invasi. Tentara Niger dapat menimbulkan masalah yang signifikan bagi ECOWAS. Allen mengatakan pasukan ECOWAS akan menghadapi tantangan signifikan.
Sementara wilayah ini terombang-ambing antara mediasi dan persiapan perang, warga Niger menderita dampak dari sanksi ekonomi dan perjalanan yang keras yang diberlakukan oleh ECOWAS. Koordinator perwakilan PBB di Niger Louise Aubin mengatakan sebelum kudeta lebih dari 4 juta warga Niger bergantung pada bantuan kemanusiaan dan situasinya dapat menjadi lebih mengerikan.
"Situasinya mengkhawatirkan, kita akan melihat peningkatan eksponensial dan lebih banyak orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan," katanya.
Ia menambahkan penutupan perbatasan darat dan udara menyulitkan masuknya bantuan ke dalam negeri dan tidak jelas berapa lama stok yang ada saat ini akan bertahan. Sementara organisasi bantuan berjuang melawan pembatasan di berbagai bidang.
Sanksi ECOWAS melarang pergerakan barang antara Niger dan negara-negara anggota, sehingga menyulitkan membawa masuk bahan-bahan bantuan. Program Pangan Dunia memiliki sekitar 30 truk yang tertahan di perbatasan Benin dan tidak dapat menyeberang.
Para aktivis kemanusiaan juga mencoba untuk menavigasi pembatasan di dalam negeri karena junta telah menutup wilayah udara, sehingga sulit untuk mendapatkan izin untuk menerbangkan pesawat kemanusiaan yang mengangkut barang dan personil ke daerah-daerah yang terkena dampak. Aubin mengatakan izin penerbangan berdasarkan kasus per kasus dan ada akses yang tidak teratur terhadap bahan bakar yang mengganggu operasi bantuan.
PBB telah meminta ECOWAS untuk membuat pengecualian terhadap sanksi-sanksi tersebut dan berbicara dengan kementerian luar negeri Niger untuk melakukan hal yang sama di dalam negeri.