Rabu 16 Aug 2023 14:02 WIB

Badan-Badan PBB Desak Perdamaian di Sudan

Wilayah Darfur di Sudan barat menjadi tempat perang genosida pada awal tahun 2000-an.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Konflik Sudan (ilustrasi).
Foto: AP Photo
Konflik Sudan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Sebanyak 20 badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi internasional lainnya menyerukan perdamaian di Sudan pada Selasa (15/8/2023). Mereka mendorong akses ke dukungan kemanusiaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).

Sudan jatuh ke dalam kekacauan pada April ketika ketegangan membara antara militer yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Burhan dan paramiliter Rapid Support Forces yang dipimpin oleh Mohammed Hamdan Dagal. Perseteruan kedua kubu ini meledak menjadi pertempuran terbuka di Khartoum dan di tempat lain.

Baca Juga

Sejak itu, PBB dan kelompok internasional menuduh militer dan RSF melakukan banyak pelanggaran HAM. Pihak-pihak yang bertikai telah menolak tuduhan tersebut.

Juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Margaret Harris mengimbau komunitas global untuk berbuat lebih banyak untuk meringankan penderitaan rakyat Darfur. "Dunia mengabaikan kebutuhan yang mendesak," ujarnya pada pengarahan PBB di Jenewa.

Wilayah Darfur di Sudan barat menjadi tempat perang genosida pada awal tahun 2000-an. Pertempuran terbaru juga berubah menjadi kekerasan etnis, dengan RSF dan sekutu milisi Arab menargetkan komunitas Afrika.

Ibu kota Sudan, Khartoum, telah direduksi menjadi medan perang. Di seberang kota, menurut penduduk dan kelompok dokter, pasukan RSF telah menyita rumah-rumah dan mengubahnya menjadi pangkalan operasional. Tentara, pada gilirannya, menyerang daerah pemukiman dari udara dan darat dengan tembakan artileri.

Badan-badan PBB yang berspesialisasi dalam kesehatan, migrasi, pengungsi, HAM, dan makanan termasuk di antara organisasi yang menyoroti krisis di Sudan. Mereka mengatakan, dua permohonan untuk dukungan keuangan berjumlah lebih dari tiga miliar dolar AS kurang dari 27 persen yang telah didanai.

“Selama empat bulan yang mengerikan, rakyat Sudan dilanda perang yang menghancurkan hidup mereka dan tanah air mereka serta melanggar HAM,” kata para pemimpin organisasi itu dalam pernyataan bersama.

Koordinator bantuan kemanusiaan PBB mengatakan, permohonannya sebesar 2,57 miliar dolar AS untuk bantuan ke Sudan hanya menerima 651 juta dolar AS. Sementara UNHCR mengatakan permohonannya sebesar 566 juta dolar AS hanya menghasilkan kurang dari 175 juta dolar AS.

“Orang-orang sekarat karena mereka tidak dapat mengakses layanan perawatan kesehatan dan obat-obatan. Dan sekarang, karena perang, anak-anak Sudan terlantar karena kekurangan makanan dan gizi,” katanya.

Direktur regional kelompok bantuan Care International untuk Afrika timur dan selatan David MacDonald mengatakan, peningkatan kekerasan baru-baru ini di negara bagian Darfur Selatan telah mempersulit pengiriman bantuan ke daerah terpencil.

Juru bicara kantor HAM PBB Liz Throssell menyatakan, perang diperkirakan telah menewaskan sedikitnya 4.000 orang. Aktivis dan dokter di lapangan mengatakan, jumlah korban tewas kemungkinan jauh lebih tinggi.

Sedangkan juru bicara badan pengungsi UNHCR William Spindler mengatakan, perang telah menelantarkan lebih dari 4,3 juta orang, termasuk sekitar 3,2 juta di dalam negeri. PBB telah mendokumentasikan setidaknya 28 insiden pemerkosaan, tetapi diyakini laporan itu lebih sedikit dari jumlah sebenarnya.

Lusinan orang tewas di daerah Kubum di negara bagian Dafue pekan lalu. Kelompok hukum Sudan melaporkan, jatuhnya korban jiwa terbaru ini terjadi dalam penggerebekan oleh anggota suku Arab dengan kendaraan RSF.

Awal bulan ini, Amnesty International menuduh kedua belah pihak melakukan kejahatan perang yang luas, termasuk pembunuhan warga sipil yang disengaja dan serangan seksual massal. Kelompok HAM itu mengatakan, hampir semua kasus pemerkosaan disalahkan pada RSF dan milisi Arab sekutunya.

Upaya sebelumnya untuk menghentikan kekerasan gagal. Setidaknya ada sembilan perjanjian gencatan senjata antara pihak-pihak yang bertikai. Sebagian besar perjanjian ini ditengahi oleh Amerika Serikat dan Arab Saudi di kota Jeddah selama Mei hingga Juni, tetapi semuanya itu kandas begitu saja. 

 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement