Sabtu 26 Aug 2023 09:24 WIB

Kudeta CIA di Masa Lalu Hantui Iran Hingga Sekarang

Kudeta CIA ini didukung oleh ulama Syiah terkemuka di Iran.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Mohamad Mossadegh. CIA mendorong kudeta 70 tahun lalu untuk menggulingkan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh.
Foto: Wikimedia
Mohamad Mossadegh. CIA mendorong kudeta 70 tahun lalu untuk menggulingkan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- CIA mendorong kudeta 70 tahun lalu untuk menggulingkan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh. Hingga kini, warisan kudeta tersebut masih menjadi perdebatan dan rumit bagi negara tersebut karena ketegangan yang masih tinggi dengan Amerika Serikat (AS).

Meski disorot sebagai simbol imperialisme Barat oleh teokrasi Iran, kudeta yang menggulingkan Mossadegh pada saat itu tampaknya didukung oleh ulama Syiah terkemuka di negara tersebut.

Baca Juga

Namun saat ini, televisi pemerintah garis keras Iran berulang kali menyiarkan segmen yang menggambarkan kudeta tersebut sebagai pertunjukkan sikap AS tidak dapat dipercaya. Sementara pihak berwenang juga melarang masyarakat mengunjungi makam Mossadegh di sebuah desa di luar Teheran.

Konflik semacam ini biasa terjadi di Iran, dengan slogal “Matilah Amerika” masih terdengar saat salat Jumat di Teheran. Sementara banyak orang di jalanan mengatakan mereka akan menyambut baik hubungan yang lebih baik dengan AS.

Tapi kenangan akan kudeta semakin memudar seiring dengan hilangnya ingatan akan peristiwa tersebut. “Mungkin AS melakukan ini karena takut akan munculnya kekuatan Uni Soviet, tetapi hal ini seperti mengharapkan gempa bumi untuk menyingkirkan tetangga yang jahat,” kata Rana, seorang pelukis berusia 24 tahun

Bagi masyarakat Iran, menurut Rana, dendam tidak pernah mencair. Kudeta pada Agustus 1953 bermula dari ketakutan AS terhadap Uni Soviet yang semakin menginginkan bagian dari Iran ketika komunis bergejolak di negara tersebut.

Tindakan ini sebagian dilakukan oleh Inggris, yang ingin merebut kembali akses terhadap industri minyak Iran, yang telah dinasionalisasi sebelumnya oleh Mossadegh. Meskipun awalnya tampak gagal, kudeta tersebut menggulingkan Mossadegh dan memperkuat kekuasaan Shah Mohammad Reza Pahlavi.

Peristiwa itu juga memicu Revolusi Islam pada 1979. Syah yang sakit parah melarikan diri dari Iran dan Ayatollah Ruhollah Khomeini mengantarkan rezim teokrasi yang masih memerintah negara tersebut hingga sekarang

Saat ini, beberapa orang yang berbicara mengenai kudeta mengatikan hubungan tidak akur dengan AS yang menyebabkan ekonomi Iran yang sedang melemah. Teheran terpukul oleh sanksi bertahun-tahun setelah gagalnya keberlanjutan perjanjian nuklir pada 2015 dengan negara-negara besar.

Padahal menurut warga Iran bernama Hossein, ketegangan dengan AS akan mendatangkan lebih banyak uang bagi bisnisnya. “Sekarang pengemudi taksi menghabiskan lebih sedikit uang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan hal ini disebabkan oleh hubungan buruk dan sanksi," ujar pria berusia 47 tahun yang mengelola kantin untuk supir taksi di Teheran selatan.

“Saya tahu tentang sejarah pahit ini tetapi ini akan segera berakhir,” kata Majid Shamsi yang bekerja sebagai pengantar parsel di pusat kota Teheran.

“Kaum muda di Iran mencari kehidupan yang lebih baik dan hal ini tidak bisa terjadi karena permusuhan dengan AS," ujarnya.

Bahkan ketika protes yang semakin sering dilakukan oleh para guru, petani, dan pihak lain di Iran, beberapa nyanyian yang sering terdengar antara lain: “Musuh kita ada di sini, mereka berbohong kepada kami (bahwa musuhnya) adalah AS," ujar orasi yang terdengar.

Seorang guru Reza Seifi menyatakan, Iran saat ini harus menerima kesepakatan dengan AS seperti yang mereka lakukan saat melepaskan warga negara ganda. “Saya membutuhkannya untuk masa depan saya yang lebih baik, untuk masa depan yang lebih baik bagi semua orang," ujarnya.

Tapi, bagi Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, kudeta pada 1953 mewakili pandangan sebagai ancaman berkelanjutan dari AS. Khamenei mengatakan kepada anggota paramiliter Revolutionary Guard Iran pada pekan ini, bahwa AS telah merencanakan untuk menggulingkan teokrasi negara itu melalui kudeta seperti pada 1953 melalui militernya.

“Musuh mencoba melemahkan dan menyamakan menganalisis revolusi dengan menciptakan krisis yang berkelanjutan,” kata Khamenei, menurut transkrip di situs resminya.

“Mereka kemudian berencana mengakhiri revolusi dengan tindakan serupa dengan kudeta yang terjadi pada 19 Agustus (1953). Namun, (Revolutionary Guard) menggagalkannya. Inilah alasan mengapa musuh memiliki begitu banyak kebencian dan permusuhan terhadap 'Revolutionary Guard'," ujarnya.

Sebagai tanggapan, Panglima Revolutionary Guard Jenderal Hossein Salami berjanji untuk mengusir pasukan AS dari wilayah tersebut. Pernyataan itu muncul di tengah penumpukan besar-besaran militer AS di Teluk Persia. Kemungkinan pasukan itu menaiki dan menjaga kapal-kapal komersial di Selat Hormuz, yang merupakan jalur 20 persen dari seluruh pengiriman minyak.

Namun, beberapa pihak tetap berharap Iran dapat mencapai perdamaian dengan AS, seperti yang baru-baru ini dilakukan terhadap Arab Saudi. “Saya bermimpi bahwa pemimpin tertinggi mengizinkan pembicaraan dan hubungan yang lebih baik dengan AS. Dia mengizinkan pemulihan hubungan dengan Arab Saudi. Dia dapat mengizinkan hal yang sama untuk AS," kata Mohsen berusia 29 tahun yang merupakan seorang penjual toko furnitur di Teheran utara.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement