Ahad 10 Dec 2023 22:40 WIB

Perdana Menteri Jepang Bakal Mereshuffle Kepala Sekretaris Kabinet

Kepala Sekretaris Kabinet Jepang tersandung kasus sumbangan dana kampanye.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nidia Zuraya
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.
Foto: AP Photo/Jeff Chiu
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida berencana mengganti Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno. Setelah surat kabar Yomiuri yang mengutip sumber pemerintah dan partai berkuasa, melaporkan Matsuno tidak mengungkapkan sumbangan dana kampanye.

Kishida dan Partai Demokratik Liberal (LDP) yang berkuasa sedang diawasi setelah anggota parlemen dari partai itu, termasuk Matsuno dan pejabat lainnya diduga mengantongi lebih dari 100 juta yen uang yang seharusnya menjadi dana kampanye.

Baca Juga

Media-media Jepang melaporkan Kejaksaan Tokyo akan menyelidiki para anggota parlemen setelah sesi masa sidang berakhir pada Rabu (12/12/2023). Pada Sabtu (9/12/2023) kantor berita Kyodo melaporkan rencana reshuffle kabinet dan penunjukkan pemimpin LDP yang baru.

Perubahan ini, kata Kyodo, dapat terjadi setelah masa sidang berakhir. Surat kabar Asahi dan media lainnya juga melaporkan Matsuno diduga gagal mengungkapkan 10 juta yen yang ia terima selama lima tahun terakhir dari faksi terbesar LDP. Matsuno membantah memberikan komentar mengenai tuduhan tersebut.

Belum ada pihak dari kantor Matsuno atau kantor perdana menteri yang memberikan komentar mengenai laporan terbaru. Media Jepang juga melaporkan Menteri Perindustrian Yasutoshi dan Kepala Dewan Penelitian Kebijakan LDP Koichi Hagiuda termasuk pejabat yang diduga tidak mengungkapkan dana politik secara tepat.  

Nishimura menolak memberikan komentar dan tidak ada orang di kantornya yang dapat memberikan komentar. Pekan lalu Kyodo melaporkan Hagiuda mengatakan organisasinya menangani masalah ini sesuai dengan hukum. Pada Sabtu kemarin tidak ada orang yang dapat dimintai komentar di kantor Hagiuda.

Dukungan publik untuk pemerintahan Kishida merosot ke rekor terendah sebagian karena kekhawatiran para pemilih atas kenaikan biaya hidup dan ancaman kenaikan pajak.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement