Sabtu 10 Oct 2015 09:49 WIB

Perjuangan Demokrasi di Tunisia Berbuah Nobel Perdamaian

Rep: Gita Amanda/ Red: Esthi Maharani
Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Umum Tunisia (UGTT) Houcine Abassi (kanan) diberi ucapan selamat oleh rekannya di kantornya di Tunis, Jumat (9/10). Abassi slah satu dari empat anggota Kuartet Dialog Nasional Tunisia yang dianugerahi Nobel Perdamaian 20
Foto: ap
Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Umum Tunisia (UGTT) Houcine Abassi (kanan) diberi ucapan selamat oleh rekannya di kantornya di Tunis, Jumat (9/10). Abassi slah satu dari empat anggota Kuartet Dialog Nasional Tunisia yang dianugerahi Nobel Perdamaian 20

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Pada 2011, aksi protes warga Tunisia berhasil menggulingkan penguasa otokrat Zine El-Abidine Ben Ali. Tak hanya itu, demo besar-besaran di Tunisia bahkan memicu lahirnya Arab Spring di wilayah Timur Tengah.

Sempat terjun ke dalam krisis politik pada 2013, demokrasi baru telah ditemukan di Tunisia di tengah bahaya besar. Terlebih kala itu, pembunuhan seorang politikus sayap kiri mendorong kelompok oposisi keluar dari majelis konstitusi. Pemerintahan lumpuh, konstitusi belum rampung dan Tunisia diambang perang.

Kemudian empat kelompok masyarakat sipil -Tunisian General Labour Union (UGTT), Tunisian Confederation of Industry, Trade and Handicrafts (UTICA), the Tunisian Human Rights League (LTDH), dan Persatuan Pengacara Tunisia- melangkah ke depan. Mereka bekerja sama untuk mendapat persetujuan kelompok Islam mengundurkan diri demi pemerintahan baru, dan merayu oposisi yang marah kembali ke meja perundingan untuk menyelesaikan konstitusi negara.

Kelompok yang terkenal dengan sebutan kuartet Dialog Nasional Tunisia itu berhasil membuat Tunisia merumuskan konstitusi baru. Dengan itu Tunisia berhasil menggelar pemilu yang bebas dan menjadi penengah kepemimpinan Islam dan sekuler. Ini menunjukkan Tunisia menjadi model bagaimana membawa transisi dari kediktatoran menuju demokrasi.

Kini kuartet Dialog Nasional Tunisia tersebut meraih Hadiah Nobel Perdamaian pada Jumat (9/10). Komite Nobel Norwegia dalam pernyataannya mengatakan, kuartet berhasil membantu mendukung proses demokratisasi saat dalam bahaya keruntuhan.

Kepala UGTT Hussein Abassi mewakili kuartet Dialog Nasional Tunisia menyatakan kegembiraan mereka meraih penghargaan tersebut. Menurut Abassi penghargaan ini bukan hanya kebanggaan bagi Tunisia tapi juga harapan bagi Dunia Arab.

"Ini adalah pesan bahwa dialog dapat membawa kita pada jalan yang benar. Penghargaan ini adalah pesan untuk wilayah kami untuk meletakkan senjata dan duduk serta berbicara di meja perundingan," ujar Abassi.

Kepala Komite Nobel Kaci Kullman Five mengatakan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menempatkan pusat perhatian pada hasil positif yang diperoleh Tunisia. Ini diharapkan dapat menginspirasi orang-orang Tunisia untuk dapat melanjutkan pembangunan atas dasar persatuan ini.

Komite Nobel Norwegia memuji kuartet Dialog Nasional Tunisia mampu memberikan alternatif dan mengawal proses politik damai, saat negara di ambang perang sipil.

"Lebih dari apa pun, hadiah ini dimaksudkan sebagai dorongan kepada orang-orang Tunisia, yang meskipun menghadapi tantangan besar tapi telah meletakkan ini atas dasar persaudaraan nasional. Komite berharap akan menjadi contoh yang harus diikuti oleh negara-negara lain," katanya.

Direktur Timur Tengah dan Afrika Utara untuk Pusat Studi Islam dan Demokrasi, William Lawrence, mengatakan hadiah menunjukkan kepada dunia bahwa proses demokrasi hidup di Tunisia. Demokrasi bertahan meskipun adanya ancaman kembar krisis ekonomi dan serangan teroris.

"Tunisia membuktikan bahwa demokrasi masih mungkin di dunia Arab. Masyarakat internasional sekarang perlu untuk meningkatkan dan mendukung pemerintah Tunisia dan orang-orang Tunisia," ujarnya.

Pilihan Komite Nobel menjadi kejutan besar. Kuartet Tunisia tersebut tak pernah masuk dalam salah satu spekulasi pemenang nobel. Selama ini nominasi kuat yang ramai dibicarakan antara lain Paus Francis, Kanselir Jerman Angela Merkel dan pegiat senjata anti-nuklir.

"Ini luar biasa, luar biasa, tak terduga. Ini membawa dukungan dari dunia ke Tunisia untuk proses demokrasi," kata anggota LTDH Chocri Dhouibi kepada penyiar Norwegia NRK.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama juga memuji pemenang Nobel Perdamaian 2015. Menurutnya, hadiah Nobel Perdamaian ini juga sebagai penghargaan untuk kegigihan dan keberanian semua warga Tunisia.

Obama mengatakan, kelompok Dialog Nasional Tunisia tersebut sebagai pengingat bahwa perdamaian dan keamanan abadi hanya dapat dicapai saat rakayat suatu bangsa berupaya untuk masa depan mereka sendiri. Peraih Nobel Perdamaian 2009 itu mengatakan, ini juga menunjukkan bahwa demokrasi mungkin dan perlu di Afrika Utara dan Timur Tengah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement