Sabtu 21 Jan 2017 17:27 WIB

'Rakyat Indonesia Jangan Terpancing Penilaian Trump tentang Islam'

Donald Trump saat diambil sumpah.
Foto: Reuters
Donald Trump saat diambil sumpah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hubungan Internasional Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah mengimbau masyarakat Indonesia jangan merasa tersudut dengan komentar dan penilaian Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenai Islam.

Saat ditemui dalam sebuah agenda diskusi politik di Jakarta, Sabtu (21/1), Reza menyoroti pernyataan Trump yang cenderung menyudutkan Islam dan mengaitkannya dengan gerakan radikal atau terorisme. "Pada pidato sambutannya jelas sekali dia fokus pada Islam radikal, padahal dalam kajian sosiologi, radikalisme itu ada di semua agama. Tapi kenapa yang dia sebut hanya Islam," ujar Reza.

Oleh sebab itu, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, dia meminta masyarakat Indonesia agar tidak terpancing emosinya. Justru dengan pandangan Trump yang dinilai sangat sempit itu, Reza menyarankan warga dan pemerintah Indonesia menjadikan penilaian tersebut untuk menyerang balik melalui jalur diplomatis.

Baca: Perbedaan Antusiasme Warga AS Saat Pelantikan Trump dan Obama

"Kita bisa mengenalkan dunia bahwa Islam, khususnya di Indonesia, jauh berbeda dengan seperti apa yang diberitakan media dunia, tidak buruk seperti yang digambarkan Gedung Putih," kata Reza.

Lebih lanjut dia menjelaskan, cara pengenalan yang dimaksud bisa dilakukan dengan cara menjalin pemahaman dengan sesama negara berkembang, ajak mereka untuk mengenal Islam secara luas. "Jika sudah ada pemahaman yang baik di kalangan negara-negara berkembang, Amerika pasti akan melihat ini dan justru akan tertekan kalau masih bertahan dengan pandangan lamanya itu," ucapnya.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mulai menjabat pada 20 Januari menggantikan Barack Obama setelah menjabat selama delapan tahun sejak 2009. Trump, yang berlatar belakang seorang pengusaha, mengeluarkan sejumlah pernyataan yang kontroversial baik di bidang ekonomi, keamanan, hingga sosial pada masa kampanyenya.

Keinginannya untuk mengusir imigran asing, penarikan pasukan dan bayaran dari negara-negara sekutu, kampanye anti-Islam, hingga melepas keanggotaannya dari kesepakatan Trans-Pacific Partnership (TPP) dikhawatirkan banyak kalangan akan menghadirkan gejolak baru di dunia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement