Selasa 25 Dec 2012 17:31 WIB

Mesir, Negeri yang Terbelah (1)

Seorang anggota dari koalisi oposisi memegang Alquran dan menggenggam salib dalam protes menentang referendum konstitusi baru di Mesir.
Foto: REUTERS
Seorang anggota dari koalisi oposisi memegang Alquran dan menggenggam salib dalam protes menentang referendum konstitusi baru di Mesir.

REPUBLIKA.CO.ID, Ikhwanul Muslimin mengklaim mengamankan 64 persen suara 'ya' dalam referendum konsitusi baru Mesir. Sementara kubu oposisi menuding terjadi manipulasi suara dalam referendum kontroversial yang terbagi dua tahap itu, 15 Desember dan 22 Desember lalu.

Panel hakim Komite Referendum Pusat yang diketuai, Hakim Samir Abu al Matti, menyatakan telah menyelidiki dugaan manipulasi dalam dua hari terakhir. Terlepas dari tudingan oposisi, media dan pengamat memprediksi kubu Mursi akan menang

Kini persoalan tak lagi siapa yang menang atau kalah, melainkan kapan Mesir akan stabil. Usai rezim Husni Mubarak yang didukung militer terguling dua tahun lalu, Mesir masih terus bergejolak. Bahkan rakyat Mesir kian terpolarisasi

Suara-suara rakyat

Seorang pengacara, Hazem Morsi, 31 tahun, seperti dituturkan di BBC, mengaku bukan kader Ikhwanul Muslimin, dan tak terlibat afiliasi politik dengan grup manapun. "Tapi saya akan pilih 'ya' terhadap konstitusi baru." ujarnya. "Saya telah membaca draf konstitusi dan isinya sangat baik. Kita butuh satu konstitusi yang membantu negara ini terus melangkah maju." ujarnya.

Hazem mengandaikan jika hasilnya 'Ya' maka Mesir tidak lagi menderita akibat kekacauan. "Saya sepenuhnya keberatan dengan protes karena mereka memicu perang sipil," ujarnya.

Sementara Nadia, 49, seorang ibu rumah tangga menegaskan memboikot referendum. "Seperti saya memboikot referendum pada Maret 2011," ujarnya. Presiden Mursi, imbuhnya, harus duduk dan berbicara dengan figur-figur oposisi.

"Mursi tidak berbuat apa pun untuk rakyat. Saya memilihnya menjadi presiden. Ia harus tahu ia adalah presiden seluruh rakyat Mesir, bukan pimpinan grup sepesifik terdiri segolongan orang. Ia harus bisa keluar dari itu."

Suara penolakan lagi datang dari Islam Abul Magd, 25, auditor. "Jika saya tidak membaca habis seluruh draf, saya akan menyia-nyiakan suara saya," ujarnya. "Satu satunya yang membuat saya memilih 'tidak' jika konstitusi memberi Ikhwanul Muslimin keistimewaan dalam kekuasaan," imbuh Abul Magd.

"Saya adalah pendukung kuat Presiden Muhammad Mursi dan Ikhwanul karena mereka pernah memberikan stabilitas. Namun kini saya berpikir sebaliknya setelah kawan baik saya kehilangan penglihatan juga matanya saat Ikhwanul Muslimin menyerang aksi damai di luar istana kepresidenan," tuturnya.

Lalu seperti Hazem, ada suara dukungan lain dari Nazeera Deyab, 34, sekretaris, "Saya pasti akan memilih ya," ujarnya. Ia mengaku belum membaca draf konstitusi. "Tapi semua ulama dan cendikiawan Islam di TV menganjurkan kami memilih 'Ya' dan saya mempercayai opini mereka," ungkapnya.

"Kami ingin memiliki satu undang-undang dasar sehingga kita bisa hidup stabil. Kita butuh investor kembali ke Mesir dan kehidupan berjalan mulus lagi."

Sedangkan Hassan Sultan, 70, pensiunan teknik pertanian mengaku tak yakin harus memilih mana. "Tak seorangpun menjelaskan pasal-pasal dalam draf itu kepada kami." ujarnya. Kakek itu berupaya memahami sendiri lewat berbagai program diskusi dan debat di televisi tapi ia tetap sulit mengerti.

Hanya saja, yang ia tahu semua perwakilan gereja, kekuatan sipil dan liberal menarik diri. "Ini mengisyaratkan kepada saya bahwa ada yang salah. Perjuangan kita adalah konstitusi, bukan agama. Kita semua adalah Muslim yang baik," ujarnya.

Presiden imbuhnya, harus mendengarkan rakyat dan menunda referendum. "Ini bukan saat yang tepat. Kami telah menunggu lama, kami tak terburu. Negara ini terbelah."

Suara-suara berbeda itu hanya segelintir contoh perbedaan tajam di tingkatan rakyat Mesir. Sejak Presiden Mursi mengumumkan untuk menyelenggarakan referendum, Mesir terus-menerus diguncang demonstrasi.

Kedua kubu, pendukung Mursi yang sebagian besar adalah massa Ikhwanul Muslimin, dan koalisi oposisi yang tergabung dalam National Salvation Front, turun ke jalan. Puncak demonstrasi terjadi pada Rabu 19 Desember lalu, ketika bentrok antara kedua massa tak terelakkan hingga menyebabkan sembilan orang tewas.

'Konstitusi baru, terutama dalam era pascarevolusi, seharusnya menjadi dokumen pemersatu. Draf ini seharusnya mengartikulasikan masa depan kolektif bangsa" tulis seorang wartawan berbasis di Kairo, Ashraf Khalil, penulis buku Liberation Square: Inside the Egyptian Revolution and the Rebirth of a Nation (2012), di majalah Time.

Draf konstitusi, imbuhnya, kemungkinan kuat disahkan, meski ia menyebut jumlah warga yang datang memberi suara di referendum, tak sampai sepertiga dari total (51 juta rakyat) warga yang memiliki hak pilih. Meski sedikit, suara yang masuk lebih berpihak ke kubu Ikhwanul Muslimin.

Bila konstitusi disahkan, Khalil meragukan ada jaminan terjadi persatuan di tataran akar rumput. "Alih-alih menyatukan, gesekan akibat perbedaan tajam di masyarakat Mesir bisa kian parah." (bersambung ke bagian II->pasal-pasal mengatur prinsip syariah)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement