Sabtu 29 Jul 2017 18:00 WIB

Ribuan Anak Pengungsi Suriah Kehilangan Akses Pendidikan

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nidia Zuraya
Pengungsi sipil melarikan diri dari kota Idlib, Suriah.
Foto: AP
Pengungsi sipil melarikan diri dari kota Idlib, Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Ribuan anak pengungsi Suriah di kamp pengungsian Za'atari Yordania kehilangan akses pendidikan. Hal ini bertentangan dengan janji Yordania yang akan membangun 75 ribu sekolah baru untuk melayani mereka.

Sejumlah badan amal mengatakan, sistem pendidikan untuk pengungsi saat ini masih terganggu oleh banyak kesulitan. Masalah yang dihadapi adalah kurangnya dukungan bagi siswa, kurangnya guru yang berkualitas, dan dugaan adanya intimidasi.

Selama konflik berlangsung, 1,3 juta warga Suriah diperkirakan telah menerobos perbatasan negara mereka. Banyaknya pengungsi Suriah yang masuk, telah memberikan tekanan besar terhadap sumber daya dan sistem pendidikan Yordania.

Mayoritas anak laki-laki yang telah mengalami trauma akibat perang, memilih untuk menjadi pekerja anak. Sedangkan anak perempuan banyak yang dipaksa menikah dini untuk meringankan beban keuangan yang dihadapi keluarga mereka.

Hampir 50 persen rumah tangga pengungsi Suriah di Yordania mengandalkan pendapatan dari pekerja anak, menurut Save the Children. Remaja yang berjuang mengejar sekolah yang mereka lewatkan untuk bekerja membantu keluarga, menjadi korban yang paling parah.

Pada konferensi donor internasional tahun lalu di London, pemerintah Yordania berjanji akan mengatasi krisis tersebut dengan menciptakan 50 ribu sekolah umum baru untuk anak-anak pengungsi. Yordania juga akan membangun 25 ribu tempat tambahan untuk sekolah non-formal.

Namun kurang dari separuh sekolah umum yang baru dialokasikan, hanya diisi oleh 24.542 anak-anak Suriah yang terdaftar dalam pendidikan formal di tahun ajaran 2016-2017. Di seluruh negeri, 198 sekolah menjalankan sistem shift ganda yang mengharuskan siswa bergantian belajar pada pagi dan sore.

"Pemerintah Yordania telah mengambil langkah berani dengan membuka tempat-tempat ini sebagai upaya untuk membantu anak-anak Suriah kembali ke sekolah, namun tiga sampai empat jam sekolah tidak cukup untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi anak-anak," ujar Manajer advokasi Save the Children di Yordania, Aya Abu Sitteh.

Di beberapa daerah, anak-anak pengungsi Suriah dilaporkan putus sekolah setelah mengeluhkan adanya intimidasi dan pelecehan dari anak-anak dan guru Yordania. Mereka menjadi sasaran karena mereka tidak dapat memahami pelajaran.

Di kamp pengungsian Za'atari terdapat 15 sekolah yang melayani populasi 80 ribu pengungsi. Anak-anak di kamp ini dilaporkan menghadapi tantangan keamanan di sekolah. Anak perempuan, khususnya, telah mengalami pelecehan dalam perjalanan pergi dan pulang dari sekolah.

"Masalah ini telah membuat banyak orang tua tidak mengizinkan anak perempuan mereka untuk sekolah. Dan setelah seorang gadis putus sekolah, dia berisiko menikah pada usia muda untuk mengurangi tekanan finansial pada keluarganya," ungkap Abu Sitteh, dikutip The Guardian, Sabtu (29/7).

Sampai saat ini, Ali yang masih berusia 14 tahun, satu dari lima bersaudara, tidak dapat bersekolah. Setelah ayahnya meninggalkan keluarga untuk menikah lagi, dia mendapat pekerjaan memetik buah untuk membantu ibu dan saudara kandungnya. Akibatnya, ia melewatkan dua tahun pelajaran.

Setelah ia didukung untuk kembali ke sekolah, ia mengaku sulit mengikuti pelajaran dan akhirnya memutuskan untuk kembali putus sekolah. "Ketika saya pergi ke sekolah saya tidak mengerti apa-apa. Jika saya meminta teman saya untuk membantu saya menjelaskan, guru akan memukul kita. Karena itulah saya memutuskan untuk berhenti sekolah," ungkap Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement