Selasa 11 May 2010 01:22 WIB

Kisah Pilu Anak-anak Haiti Usai Gempa Berlalu

Tampak dua orang anak yang diasuh di panti asuhan setempat usai gempa yang melanda Haiti, Januari lalu.
Foto: AP
Tampak dua orang anak yang diasuh di panti asuhan setempat usai gempa yang melanda Haiti, Januari lalu.

PORT-AU-PRINCE--Satu minggu setelah anak berusia satu tahun itu ditemukan di sekitar tumpukan sampah, Ayah sang anak muncul. Anak tersebut menggeliat di ranjang bayinya, tersenyum dan mengangkat tangannya. Ketika Ayahnya tidak menyentuh, anak itu mulai menangis dan kakinya menendang-nendang.

Pria itu pergi beberapa saat setelah ia tiba dan tak pernah kembali, demikian diungkap dalam sebuah laporan tertulis pekerja sosial di  Rumah Sakit Saint Catherine di lokasi penampungan Cite Soleil.

Gempa yang mengguncang Haiti beberapa saat lalu iti, menyebabkan 1,3 juta warga Haiti kehilangan tempat tinggal, ujian yang sangat berat bagi para orangtua yang memang sebelumnya sudah kesulitan untuk memberi makan anaknya.

Kini mereka yang terpaksa harus tinggal di tenda pengungsian yang bocor dan bantuan yang menipis, makin banyak keluarga di Haiti meninggalkan anak-anaknya dengan harapan organisasi penyelamat akan memberikan harapan kehidupan yang lebih baik, ujar pekerja sosial.

Seorang bayi berusia empat hari tampak ditinggal di sebuah kotak kardus di luar rumah sakit. Anak-anak berusia balita ditemukan sendirian di ruang tunggu rumah sakit. Di luar itu, para sukarelawan menemukan anak berusia tiga tahun menenteng pakaian dalam yang dilipat rapi, dengan sebuah catatan di bajunya yang meminta orang yang menemukannya untuk memelihara anak tersebut.

Sebelum gempa berkekuatan 7 skala richter mengguncang Haiti, para orangtua yang miskin meninggalkan anak-anaknya di panti asuhan, dimana mereka akan diberi makan minimal satu kali per hari. Kini jumlah anak-anak yang terlantar semakin meningkat tajam, ujar salah seorang sukarelawan yang membantu mengatur logistik, Tamara Palinka.

"Secara pribadi, saya berbicara banyak mengenai para ibu yang menyeranhkan anak-anaknya," ujar Palinka yang sengaja memberikan ruang berupa tenda di lapangan rumah sakit anak khusus untuk anak-anak terlantar, termasuk para balita yang merangkak diantara tumpukan sampah.

Para pekerja yang mengurus anak yatim piatu mengatakan, fasilitas mereka dipenuhi anak-anak yang masih memiliki orangtua.

Nadine Jean-Baptiste, seorang ibu yang terkena AIDS, beberapa waktu lalu meninggalkan anaknya yang berusia dua tahun, Christine, di sebuah panti asuhan didekat gudang tempat tinggalnya sekarang.

Sebelum gempa tanggal 12 Januari lalu, dia hampir tidak mampu membayar pengobatan serta memelihara putrinya. Kemudian, suaminya yang seorang juru masak terkubur didalam restoran ketika tengah bekerja. Nadine sempat mendengar teriakan suaminya namun tidak mampu berbuat apa-apa.

Setelah kematian suamin serta tempat tinggalnya yang musnah, Nadine menimbang untuk mengambil keputusan berat, menyerahkan putrinya pada pasangan asal Amerika yang tertarik mengadopsi. Ibu yang sakit itu mengaku tak tidur beberapa malam untuk memutuskan apakah dia harus menyerahkan putri kesayangannya yang memiliki pipi tembam dan rambut dikucir yang sangat lucu.

"Saya mencintai anak saya. Menyerahkannya bukanlah keinginan saya. Namun saya tidak bisa memberinya makan, tak ada pilihan lain selain menyerahkannya pada orang lain," ujar Nadine dengan suara lirih dengan tubuh semakin kurus akibat penyakitnya.

Salah satu badan dibawah Persatuan Bangsa-Bangsa yaitu Children's Fund membuka saluran telepon bebas pulsa pada bulan Februari untuk anak-anak yang terlantar atau hilang dan terpisah dari keluarga. Hingga kini mereka mendaftar sekitar 960 anak. "Kami tidak menyebutnya anak yatim piatu, karena mereka bisa saja memiliki keluarga," ujar  Edward Carwardine, juru bicara UNICEF di Haiti.

Beberapa minggu setelah gempa, organisasi sosial SOS mengumumpkan, mereka memiki kamar lebih banyak untuk para yatim piatu. Keesokan hari, angka anak yatim piatu di tempat tersebut bertambah dua kali lipat karena para staf menemukan 120 anak tengah antri di luar gerbang. Hanya dalam tiga bulan, jumlah itu bertambah tiga kali lipat.

SOS kemudian menyadari kemungkinan anak-anak yang baru tiba bukanlah yatim piatu, ujar juru bicara Line Wolf-Nielsen. Seorang ibu berpura-pura menjadi seorang asing yang menitipkan tiga anaknya sendiri, yang diakui sebagai yatim piatu yang ditemukan setelah gempa.

Sementara itu, orangtua lain mengirim anaknya melalui tetangga atau teman-temannya sehingga sulit menemukan orangtua mereka. Bahkan sebuah keluarga memerintahkan tiga anak laki-lakinya untuk mengingat nama palsu dari keluarga mereka untuk mempersulit menemukan keluarga sebenarnya.

Hukum di Haiti mensyarakatkan petugas berwenang yang menangani yatim piatu untuk berusaha mempertemukan kembali orangtua dan anak-anaknya. Setelah gempa, seringkali terjadi orangtua tidak menginginkan anaknya kembali. SOS telah mengantarkan sekitar 300 anak yang mereka tampung dengan mengirimkan pakerja mencari para orangtua.

"Hal itu sangat berat, namun kami sangat berusaha agar kami bisa mengurus yang paling membutuhkan. Jika seorang anak memiliki keluarga, maka seharusnya kondisinya tidak membutuhkan bantuan dibandingkan yang tanpa keluarga," ujar Wolf-Nielsen.

Organisasi sosial yang membantu anak-anak terlantar di Haiti kini menawarkan bantuan bagi keluarga yang mengambil kembali anak-anaknya. Jika mereka mengambil kembali tiga orang anak, maka keluarga itu bisa memperoleh tiga kantung tidur, satu tenda dan suplai makanan satu bulan.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement