Rabu 30 Jan 2019 12:14 WIB

Senjata Nuklir Korut Dinilai Masih Mengancam AS

Pejabat keamanan AS menilai Korut akan mempertahankan senjata pemusnah massal.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Nuklir Korea Utara. (ilustrasi)
Foto: Reuters/Damir Sagolj
Nuklir Korea Utara. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sejumlah pejabat keamanan Amerika Serikat (AS) yang terdiri dari Direktur FBI Christopher Wray, Direktur CIA Gina Haspel, dan Direktur Intelijen Nasional Dan Coats menyampaikan analisis tahunan mereka kepada komite intelijen Senat mengenai ancaman keamanan global. Mereka menyampaikan, bahaya keamanan di seluruh dunia semakin beragam yakni mulai dari senjata nuklir Korea Utara, serangan siber Cina, hingga kampanye Rusia untuk melemahkan demokrasi Barat.

Direktur Intelijen Nasional Dan Coats menyampaikan, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un tidak mungkin menyerahkan senjata nuklirnya. Dia menilai, Korea Utara akan mempertahankan senjata pemusnah massal.

"Kami menilai, Korea Utara akan berusaha untuk mempertahankan kemampuan senjata pemusnah massal dan tidak mungkin sepenuhnya menyerahkan senjata nuklir dan kemampuan produksinya, karena mereka memandang senjata nuklir sebagai hal yang penting untuk kelangsungan rezim," ujar Coats, Rabu (30/1).

Coats mencatat, Korea Utara memang telah menyatakan dukungannya untuk membersihkan Semenanjung Korea dari senjata nuklir. Selain itu, selama setahun terakhir Korea Utara juga tidak melakukan uji coba penembakan rudal nuklir. Namun dalam laporan yang berjudul "Penilaian Ancaman Dunia", Coats mengatakan, intelijen AS terus mengamati kegiatan Korea Utara yang dinilai tidak konsisten atau tidak sejalan dengan komitmen mereka terkait perlucutan senjata nuklir.

Sebelumnya dalam pertemuan antara Presiden Donald Trump dan Kim Jong Un di Singapura pada Juni 2018 lalu, Trump menyatakan bahwa Korea Utara tidak lagi menjadi ancaman nuklir. Namun, para pejabat intelijen AS menyatakan bahwa mereka melihatnya dari sisi yang berbeda.

"Kemampuan dan ancaman itu masih ada di sana," ujar Direktur Badan Intelijen Pertahanan Robert Ashley.

Selain itu, dalam laporan tersebut juga menyebutkan kelompok ISIS tetap menjadi ancaman terorisme bagi AS. Para intelijen menilai, kelompok ISIS masih berbahaya dan memimpin ribuan pejuang di Irak dan Suriah.

Laporan intelijen juga menyebutkan bahwa Rusia dan negara-negara lain kemungkinan akan melakukan serangan cyber melalui media sosial untuk mempengaruhi pemilihan presiden AS 2020. Laporan tersebut secara khusus memperingatkan tentang kemampuan serangan cyber Rusia. Adapun, Moskow sekarang tengah meningkatkan aset serangan cyber yang diduga dapat merusak infrasktruktur sipil dan militer AS.

Di sisi lain para intelijen mengatakan, Iran terus bekerja sama dengan pihak-pihak lain dalam kesepakatan nuklir yang dicapai dengan AS dan negara Barat lainnya. Untuk sementara, hal tersebut dapat mengurangi ancaman nuklir terhadap AS.

Baca: AS Kirim Gelombang Pertama Pencari Suaka ke Meksiko

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement