Kamis 30 Aug 2018 12:54 WIB

Prancis Desak Pemulihan Perdamaian Suriah

Mitra Prancis memandang Rusia yang mendukung rezim Suriah sebagai musuh.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
 Pemandangan kota yang hancur, penuh dengan puing-puing yang berserakan akibat perang saudara di kota Homs, Suriah, Ahad (9/3).  (Reuters/Thaer Al Khalidiya)
Pemandangan kota yang hancur, penuh dengan puing-puing yang berserakan akibat perang saudara di kota Homs, Suriah, Ahad (9/3). (Reuters/Thaer Al Khalidiya)

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mengatakan harus ada langkah yang diambil guna memulihkan perdamaian di Suriah. Dalam hal ini, Prancis sependapat dengan Amerika Serikat (AS).

"Kami memiliki sikap bersama dengan AS bahwa harus ada beberapa langkah meyakinkan guna memulihkan perdamaian di Suriah dan menarik pasukan asing, memperkenalkan reformasi konstitusional yang memungkinkan semua warga Suriah, termasuk pencari suaka, untuk berpartisipasi," kata Le Drian pada Rabu (29/8).

Ia pun menyinggung tentang Rusia yang diketahui sekutu dari pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad. "Mengenai hubungan kami dengan Rusia, beberapa mitra kami memandang negara itu sebagai musuh, dan mereka punya alasan untuk itu," ujarnya.

Namun ia menegaskan Prancis tidak berusaha mengisolasi atau melemahkan Rusia. "Sebagai gantinya, kami mengharapkan rasa hormat dan kerja sama," kata Le Drian.

Prancis, termasuk AS dan Inggris memang berseberangan dengan Rusia dalam konflik Suriah. Pada April lalu, ketiga negara menyerang fasilitas-fasilitas militer Suriah karena diyakini menjadi tempat pengembangan senjata kimia.

Konflik Suriah telah berlangsung selama sekitar tujuh tahun. Konflik itu telah menyebabkan lebih dari setengah juta orang tewas dan 10 juta lainnya mengungsi.  Menurut United Nations Economic and Social Commission for Western Asia (UNESCWA), sejak meletus pada 2011, perang Suriah juga telah menimbulkan kerugian sebesar 388 miliar dolar AS

PBB telah berulang kali berupaya menginisiasi perundingan perdamaian antara pemerintah Suriah dan kubu oposisi. Pada Desember 2017, perundingan damai Suriah putaran kedelapan yang digelar di Jenewa, Swiss, berakhir tanpa hasil apapun. Utusan Khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura menerangkan, kegagalan perundingan tersebut karena delegasi pemerintah Bashar al-Assad mengajukan prasyarat untuk melakukan pemibcaraan langsung dengan oposisi.

Prasyarat yang diajukan delegasi pemerintah adalah menuntut oposisi menarik diri dari Deklarasi Riyadh 2. Deklarasi itu merupakan sebuah pernyataan oposisi yang menolak Assad terlibat dalam proses transisi politik di negara tersebut.

Namun pada Januari lalu, kemajuan mulai tampak setelah perwakilan pemerintah dan oposisi Suriah menyepakati pembentukan komite konstitusional. Komite itu terdiri dari pemerintah, perwakilan oposisi dalam perundingan intra-Suriah di Jenewa, pakar Suriah, masyarakat sipil, dan para pemimpin suku.

Menurut de Mistura penyusunan konstitusi baru Suriah memang bukan pekerjaan mudah, tapi  itu harus dituntaskan. Terkait hal ini, menurut de Mistura, perwakilan Suriah membutuhkan tempat yang aman dan netral untuk menyusun konstitusi. “Semua rakyat Suriah saat ini membutuhkan gencatan senjata yang berkelanjutan, akses kemanusiaan penuh, dan pembebasan tahanan,” ucapnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement