Kamis 08 Feb 2018 17:50 WIB

Peraih Nobel Desak Saudi dan UEA Hengkang dari Yaman

Karman menuding telah menahan Presiden Hadi di bawah tahanan rumah.

Rep: Marniati/ Red: Teguh Firmansyah
Tank militer Arab Saudi berjaga di wilayah pegunungan Baihan, Yaman, pada 25 Februari 2016.
Foto: EPA/STR
Tank militer Arab Saudi berjaga di wilayah pegunungan Baihan, Yaman, pada 25 Februari 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Peraih nobel perdamaian Yaman Tawakkal Karman menyerukan diakhirinya pendudukan militer oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) dalam sebuah wawancara eksklusif dengan kantor berita Reuters.

Seperti dilansir Aljazirah, Kamis (8/2), Karman memenangkan Nobel Perdamaian pada 2011 setelah berkemah di sebuah tenda selama berbulan-bulan dalam demonstrasi pro-demokrasi yang akhirnya memaksa pemimpin Yaman yang sudah lama berkuasa Ali Abdullah Saleh untuk mengundurkan diri.

"Pendudukan Saudi-Emirat mengkhianati orang-orang Yaman dan menjualnya, mengeksploitasi kudeta milisi Houthi yang didukung oleh Iran mengenai pemerintah sah, untuk melakukan pekerjaan yang buruk dan pengaruh yang lebih besar," kata Karman.

 

Karman sekarang menetap di Istanbul, Turki. Dia menuduh Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi, bersama dengan pejabat tinggi lainnya, ditahan di bawah tahanan rumah oleh Riyadh dan mencegah pemerintah di lapangan untuk melindungi pengaruh Saudi dan UEA.

Pejabat dari koalisi pimpinan-Arab dan UEA tidak segera berkomentar terkait hal ini.

Seorang pejabat pemerintah Yaman membantah tuduhan Karman. "Presiden Hadi tidak di bawah tahanan rumah dan dapat melakukan perjalanan kemanapun dia mau. Pemerintah dan koalisi dalam koordinasi penuh," kata pejabat tersebut.

Koalisi tersebut mengatakan kampanye mereka diluncurkan atas permintaan Hadi dan bertujuan untuk memulihkan pemerintahannya dan masa depan Yaman sebagai negara kesatuan sesuai dengan resolusi PBB.

Tapi Karman mengatakan Arab Saudi dan UEA berusaha untuk mengembalikan waktu pada kemajuan politik di Yaman dan luar negeri. "Mereka menganggap Arab Spring sebagai musuh pertama mereka dan ini adalah kesalahan strategis yang mereka alami. Saya meminta kedua negara untuk berdamai dengan Arab Spring, tidak berbenturan dengannya, karena masa depan adalah masa depan perubahan dan roda sejarah tidak berputar mundur," tambahnya.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 10 ribu orang terbunuh dalam pertempuran - hampir setengah dari mereka warga sipil - sejak sebuah koalisi pimpinan-Arab meluncurkan serangan udara ke Yaman pada Maret 2015

Sebuah koalisi militer yang dipimpin oleh Saudi bergabung dengan konflik Yaman setelah pemberontak Houthi merebut sebagian besar negara tersebut pada akhir 2014 dan akhirnya mengusir pemerintahan Hadi ke pengasingan di Arab Saudi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement