Jumat 18 Nov 2011 08:55 WIB

Suriah dan Bashar al-Assad Kian Dikucilkan

Presiden Suriah Bashar Al-Assad
Foto: taminat.gov.sy
Presiden Suriah Bashar Al-Assad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Seruan guna menentang campur tangan asing dalam krisis di Suriah memang terus beredar. Namun itu tak mengurangi sanksi dan boikot yang meningkat oleh masyarakat internasional, ditambah penskoran oleh Liga Arab menambah kuat pengucilan terhadap Presiden Suriah, Bashar al-Assad.

Sementara itu, ekonomi negara Arab tersebut makin terjepit dan pemerintah Bashar secara bertahap kehilangan sumber dukungan. Bashar menghadapi pengucilan keras yang berpangkal dari aksi kerasnya terhadap protes selama delapan bulan, yang jelas kian tak terkendali.

Serangan oleh tentara pembelot juga bertambah sering, dan pemimpin dunia mempertimbangkan kemungkinan bagi rezim Suriah tanpa kehadiran Bashar.

Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, telah menyampaikan desakan bagi campur tangan militer, seperti yang dilakukan NATO di Libya, tapi banyak pihak menyatakan pilihan tersebut tak ada dalam agenda saat ini. Sementara itu pada Senin (14/11) Jordania mendesak Bashar agar meletakkan jabatan.

Negara Eropa dan Amerika Serikat telah mengupayakan sanksi ekonomi, dengan tujuan mendorong rakyat Suriah agar mengambil sikap lebih keras terhadap pemerintah sejak awal peristiwa di Suriah.

Lalu negara Arab mengikuti jejak mereka dalam upaya untuk lebih mengucilkan pemerintah Suriah dan melumpuhkan ekonomi negeri tersebut. Liga Arab pada Sabtu (12/11) menskors Suriah dari badan regional itu dan menjatuhkan sanksi atas Suriah, yang mungkin menghentikan import produk non-minyak, sebab, katanya, Suriah gagal mengakhiri penindasan berdarah atas pemrotes.

Liga Arab pun melancarkan pukulan paling akhir pada Rabu (16/11), dengan memberlakukan skosrs terhadap Damaskus dan mengancam akan memberlakukan sanksi lebih lanjut jika pemerintah Bashar terus melanggar rencana perdamaian yang diperantarai Arab. Badan regional tersebut kian memperlihatkan bahwa organisasi itu mulai kehilangan kesabaran pada kegagalan Presiden Bashar untuk mengakhiri delapan bulan penindasan terhadap pemrotes.

Jerman, Inggris dan Prancis terus mendesak dikeluarkannya resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang akan dengan keras mengutuk pelanggaran hak asasi manusia di Suriah. Ketiga negara Eropa tersebut memutuskan bergerak terus agar Sidang Majelis Umum mengeluarkan resolusi setelah Liga Arab menegaskan penskorannya.

"Kami harap itu akan memperlihatkan Al-Assad betapa terkucilnya dia," kata Duta Besar Jerman untuk PBB, Peter Wittig, mengenai resolusi yang direncanakan tersebut, sebagaimana dilaporkan media trans-nasional.

Sementara itu, tentara pembelot dilaporkan menyerang satu kompleks dinas intelijen, tindakan yang memperlihatkan betapa perlawanan rakyat terhadap kekuasaan Bashar sekarang sangat dekat dengan jurang konflik bersenjata.

Kejadian lain yang menambah kuat tekanan internasional atas Bashar agar mengakhiri penindasannya terhadap pemrotes ialah Prancis menarik duta besarnya dari Suriah. Menteri Luar Negeri Prancis, Alain Juppe, mengatakan bahwa pihak Paris sedang bekerjasama dengan Ligar Arab mengenai rancangan resolusi PBB.

Maroko mengikuti tindakan Prancis dan menyatakan telah menarik duta besarnya untuk Suriah setelah kedutaan negara itu di Damaskus diserang oleh para demonstran Suriah.

Rabat mengumumkan tindakan itu pada Rabu (16/11), beberapa jam setelah pihaknya menjadi tuan rumah pertemuan menteri luar negeri Liga Arab yang memberi waktu tiga hari kepada pemimpin Suriah Bashar al-Assad untuk menyetujui diakhirinya aksi penumpasan oleh pemerintah terhadap pengunjuk rasa dan mengizinkan masuknya tim pengamat.

Namun, Rusia dan China telah mendukung Damaskus di tengah keprihatinan bahwa kejatuhan Bashar akan menjadi pukulan keras terhadap kepentingan mereka di Timur Tengah.

Pada Oktober, kedua negara itu memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengancam sanksi terhadap Suriah kalau negara Arab itu tak mengakhiri penindasannya. Tapi pada Kamis (17/11), juru bicara Kementerian Luar Negeri China Liu Weimin tampaknya menunjukkan China mungkin mendukung resolusi PBB pada masa depan.

sumber : Antara

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement