REPUBLIKA.CO.ID, "Bashar mengusir kami, sepupuku meninggal. Ingin Assad pergi, jadi aku bisa pulang ke Suriah," ujar gadis kecil asal Suriah, Safa (13 tahun). Bersama 2.300 anak Suriah lain, Safa mau tak mau pindah ke Yordania untuk menempa ilmu. Gejolak perang di negaranya tak hanya membuatnya trauma namun juga putus sekolah.
Mereka terusir dari tanah kelahiran sejak perang saudara pecah di Suriah. Meninggalkan trauma perang, mereka hidup di camp pengungsian yang penuh debu di perbatasan. Hak-hak mereka terenggut, saudara mereka terbunuh, pendidikan mereka terlantar.
Anak-anak Suriah tersebut terpaksa belajar di camp pengungsian Zaatari. UNICEF membangun sekolah untuk mereka selama Suriah masih diselimuti gejolak perang. "Mereka mencoba membantu kami melupakan apa yang terjadi, tapi itu sulit. Tapi aku bahagia bisa belajar lagi," kata Safa.
Seorang gadis kecil lain, Rasha (13 tahun) menderita trauma berat. Setiap malam Rasha terus saja didatangi mimpi buruk. "Saya selalu melihat paman ditembak, darahnya dimana-mana. Ibu selalu menceritakan kisah sebelum saya tidur, tapi tidak berhasil. Saya terus saja mengalami mimpi buruk," ujarnya dengan wajah pucat.
Raghdad (11 tahun) pun mengalami hal serupa. Dia selalu teringat rumahnya di Daraa yang hancur. "Saya senang bisa sekolah. Ini jauh lebih baik dari Suriah. Tapi setiap malam saya selalu sakit," ujarnya.
Camp Zaatari dihuni lebih dari 200 ribu pemngungsi Suriah. Jumlah tersebut terus bertambah setiap harinya. Setengah dari jumlah tersebut pun terdiri dari pemngungsi usia dibawah 18 tahun. Tak heran jika camp tersebut disebut "Children's camp".