Selasa 18 Jun 2013 00:15 WIB

Sabun Aleppo, Akankah Tinggal Kenangan?

Sabun Allepo
Foto: 1
1

Selama berabad-abad, sabun alami nan sederhana ini menjadi bisnis andalan Kota Aleppo. Sebagian besar produksi sabun kota itu diekspor ke luar negeri, seperti negara-negara Timur Tengah, Eropa, Korea Selatan, dan Jepang. Ratusan ton sabun dikirim ke negara-negara tersebut untuk memenuhi permintaan konsumen yang menginginkan produk-produk alami untuk kecantikan kulit mereka.

Julia Gonnella, kurator dari Museum Seni Islam di Berlin, membenarkan bahwa sabun merupakan industri penting di Aleppo. “Aleppo merupakan kota dagang. Di sana, sabun, sutra, dan kuningan dijual di berbagai sudut kota,” kata dia.

Sayang sekali, cerita indah itu kini tinggal kenangan. Perang saudara yang mengoyak Suriah sejak Maret 2011, menghancurkan wanginya industri sabun Aleppo. Aroma wangi dari minyak zaitun dan laurel tak lagi memenuhi udara Aleppo. Tak terlihat lagi pria-pria kekar menjemur sabun di pelataran rumah atau bengkel kerja yang berada di kiri-kanan jalan labirin berusia 2.000 tahun di kota tersebut.

Bahkan, April lalu Andoura terpaksa meninggalkan Aleppo karena kota indah dan bersejarah itu telah berubah menjadi ajang pertempuran antara pasukan Pemerintah Suriah dan oposisi. “Situasinya sangat berbahaya. Saya harus rela kehilangan segalanya, hasil kerja keras saya selama bertahun-tahun. Hilang pula warisan sejarah kota ini.”

Memulai bisnis sabun 17 tahun lalu, Andoura membeli minyak laurel dari desa-desa di sekitar Aleppo. Ketika permintaan pasar kian meningkat, dia memburu minyak laurel hingga ke Latakia di pinggiran Laut Tengah dan Antakya di Turki. Sedangkan, minyak zaitun masih bisa dipenuhi oleh para petani di Aleppo.

Pada 2010 dia memproduksi 500 ton sabun, namun terus menurun di tahun-tahun berikutnya. Pada musim panas 2011, ketika amuk peperangan kian sengit, bisnisnya mulai oleng. Andoura mulai sulit memasok sabun ke toko-toko di Damaskus lantaran kondisi di jalan yang sangat berbahaya. Begitu pun aktivitas ekspor, sulit dilakukan. Puncaknya, pada 2012 pabriknya di pinggiran Aleppo berhenti berproduksi. Karyawannya yang berjumlah 75 orang tercerai berai mencari selamat dari amuk perang.

Meski demikian, masih tersisa asa di benak Andoura. “Kami harus berhenti saling membunuh. Dan, saya yakin, suatu saat rakyat Suriah akan menyudahi peperangan ini untuk bangkit dan membangun diri kembali.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement